Jumat, 12 November 2010

Relevansi Metode clasic Arab pegon pada era moderen

Arab pegon, yaitu sebuah tulisan, aksara atau huruf arab tanpa lambang atau tanda baca atau bunyi-bunyi. Dalam kamus Jawa-Indonesia, pegon berarti tidak biasa mengucapkan. Kata lain dari “pegon” yaitu gundhul yang berarti kosong atau polos. Sedangkan “huruf Arab pegon” digunakan untuk menuliskan terjemahan maupun makna yang tersurat didalam kitab kuning dengan menggunakan bahasa tertentu agar supaya bisa di faham oleh halayak awam. Arab pegon identik dengan pesantren atau lebih tepatnya merupakan suwatu metode yang di gunakan di pesantren umumnya. Arab pegon sendiri adalah suwatu ungkapan yang di gunakan oleh orang jawa, ungkapan tersebut bisa berbeda-beda tergantung daerah yang menggunakannya, di sumatra kita bisa menyebut arab pegon dengan sebutan aksara arab melayu, huruf arab pegon ini merupakan suatu tulisan arab tapi menggunakan bahasa lokal. Di katakan bahasa lokal karna ternyata tulisan Arab pegon itu tidak hanya menggunakan Bahasa Jawa saja tapi juga dipakai di daerah Jawa barat dengan menggunakan Bahasa Sunda, di Sulawesi menggunakan Bahasa Bugis, dan di wilayah Sumatera menggunakan Bahasa Melayu.keberada’an arab pegon sangat erat kaitanya dengan syi’ar islam di negeri kita indonesia. Konon para ulama menggunakan metode ini untuk mempermudah penyebaran syari’at islam, selain itu arab pegon juga menjadi suatu metode yang di gunakan ulama-ulama terdahulu juga mempunyai kandungan sastra jawa yang terdapat di dalam Text arab pegon.bahasa yang di gunakan mengandung unsur sastra jawa ( ketika bahasa jawa ), mengutip dari salah satu sumber, bahwa arab pegon juga di gunakan dalam bidang sastra jawa, hal itu dapat teridentifikasi melalui bahasa jawa yang di gunakan dalam memaknai gandul yaitu bahasa jawa clasic.Selain di jadikan sebagai ungkapan sastra, arab pegon juga menjadi sebuah metode pendidikan yang unik, Bukti bahwa arab pegon merupakan sebuah metode yang di pakai oleh para ulama iyalah ratusan karya para ulama yang di jadikan buku dan buku-buku tersebut menerangkan tentang masalah ke agamaan seperti halnya yang saya temukan di toko kitap kuno di cairo yang mencetak kitap-kitap clasic ( maktabah khalabi ) di situ terdapat karangan ulama luar jawa yang menggunakan bahasa arab pegon sebagai bahasa inti di dalam karangan nya. Selain itu, keberadaan penggunaan Arab pegon di pondok pesantren terutama yang masih kuat kultur masyarakatnya, sampai saat ini masih tetap dipertahankan. Karena selama ini pesantren masih dianggap banyak membawa keberhasilan dalam segi pendidikan bahasa arab. Penerapan penerjemahan kitab kuning dengan menggunakan Arab pegon dalam pengajarannya biasa disebut dengan Ngesahi atau Ngalogat dalam menerjemahkan dan memberi makna pada Kitab Kuning.
Maseh relevankah metode seperti itu?
Melihat fakta yang ada di dalam lingkup pesantren yang notabene adalah pengguna metode clasic itu, saya kira ada sisi validitas nya dan invaliditas. Segi valid yang saya maksut disini adalah, peran besar metode Arab pegon dalam membantu pelajar untuk lebih memahami makna yg terdapat di dalam text arab, entah itu dalam bentuk kitab kuning atau kitab-kitab yang lainya. proses absahnya metode ini lebih cenderung dalam meniliti kata demi kata sehingga proses mentarkib ( istilah pelajar ) dalam membaca kitap kuning bisa di bilang teliti. Selain validitas di atas kita juga akan menemukan invaliditas di dalam metode ini yg mana seiring dengan perkembangan zaman, buku kontemporerpun saling bermunculan dan bahasa yang di gunakanpun sangat bertolak balik dengan bahasa kitab-kitab clasic. Kitab kontemporer lebih mempunyai istilah-istilah kekinian yang mana istilah tersebut masih belum bisa di artikan atau di alih bahasakan dengan menggunakan Arab pegon.
Banyak contoh-contoh dalam istilah kontemporer yang tidak bisa di alih bahasakan dengan menggunakan bahasa daerah yang cenderung lebih bisa di mengerti oleh kaum awam. Dari segi ini mungklin kita bisa memandang bahwa metode menggunakan Arab pegon sedikit lebih tidak relevan dengan masa sekarang.di pandang dari metode ini tidak bisa mencakup dalam semua aspek bahasa,banyak bahasa-bahasa kekinian yang tidak bisa di alih bahasakan. Dan juga perlu di pertimbangkan bahwa metoode arab pegon di pandang dari masa sekarang banyak yang mengatakan terlalu bertele tele dalam segi pengungkapannya. sebagian mengatakan bahwa bahasa yang seyogyanya simple akan tetapi ketika di artikan dalam menggunakan arap pegon malah menjadi panjang. Itu semua di sebabkan faktor peralihan zaman dan berpengaruh terhadap metodologi pembelajaran dan penyampaian.
Efek dari penerapan metode clasic ini.
Banyak saya temui di daerah-daerah di jawa, bahwa pengunaan metode clasic ini kurang begitu efektiv, ini berdasarkan fakta yang terdapat di dalam pesantren pada umumnya. Bahwa santri atau pelajar pada umumnya kurang bisa menangkap secara baik dengan metode seperti ini. Apalagi ketika santri tersebut berasal dari luar jawa atau luar daerah yang cenderung pemahaman bahasanya berbeda. Dari sini akan muncul proses perlambatan kemampuan dan kurang bisa menghemat waktu. Karna siswa atau pelajar yang mestinya dalam masa 1-tahun sudah bisa memahami dalam batasan tertentu terhambat oleh kurang memahaminya bahasa Arab pegon. Dan juga di dalam metode ini penjelasan tentang tata bahasa dan rumus-rumus yang terdapat di Arab pegon masih cenderung simple, jadi kurang begitu luas sehingga siswa yang berasal dari luar daerah akan terhambat di karnakan faktor bahasa yang kurang bisa di mengerti.
Faktor lainya, kurang efisiennya pemanfa’atan waktu, realita yang ada , proses pengajaran kitab-kitab kuning ala pesantren salaf cenderung memaknai satu persatu text arab dengan menggunakan arab pegon, di lanjut dengan menerangkan kandungan makna text arab. Coba ketika lebih di efisienkan maka kita akan lebih menghemat waktu dengan metode menerangkan terhadap para siswa. Semisal ada waktu sendri terhadap pembelajaran menggunakan metode Arab pegon. Ketika proses seperti itu maseh berjalan sampai sekarang apakah hasil dari metode seperti itu maseh sebesar jaman dahulu? apakah tujuan di lestarikanya metode clasic seperti itu? Apakah cukup dengan menghargai metode ulama-ulama terdahulu? Itu mungkin yang harus kita teliti lebih dalam.dengan reserch sehingga kita dapat menemukan kelemahan dari metode itu dan memperbaiki faktor-faktor yang perlu di perbaiki,seperti kata para ulama: Al mukhafadhoh ala al qodim wa al akhdzu bil jadid al aslah. Dengan begitu kita bisa menjadikan metode yang tadinya clasic bisa terlihat moderen dan manfaatnya lebih bisa terasa.
Akan tetapi kita juga tidak menafikan peran besar metode ini dalam pengembangan agama islam kita. mungkin kalkulasi yang ada hampir 80% efect metode ini sangat terlihat. di karnakan pada era dahulu cultur arab sudah masuk ke kalangan indonesia. Jadi mungkin metode yg di gunakan para ulama jaman dahulu melihat dari aspec tersebut, sehingga di pilihlah metode seperti itu yang sampai sekarang maseh di gunakan oleh pesantren.
Saya kira seperti itu unek-unek yang bisa saya ungkapkan dalam sebuah tulisan ini, semoga bisa bermanfaat bagi teman-teman sekalian, jika kurang berkenang mohon maaf yang sebesar besarnya,

Nb : tulisan ini terinspirasi ketika saya membaca sebuah reserch salah seorang mahasiswa jogja yang terbentuk dalam sebuah sekripsy dalam format PDF, akan tetapi dalam srikpsy tersebut saya belom menemukan suatu terosbosan dan masukan terhadap metode clasic ini sehingga tidak bisa terjadi suartu resafle metode dari clasic di kemas menjadi modern.
Baca Selengkapnya...

Jumat, 26 Februari 2010

Menstruasi

Menstruasi/haid secara etymology (bahasa)ialah berarti sesatu yang mengalir. Sedangkan menurut terminology Islam ialah: darah yang keluar dari kemaluan seorang wanita, dari dalam rahimnya secara sehat bukan dalam keadaan sakit dan juga bukan karena melahirkan.

Dasar dalil menstruasi ialah firman Allah yang berbunyi : " Mereka bertanya kepadamu tentang haid," QS 2:222, kemudian menggunakan dalil hadits yang terdapat dalam Shahih Bukhari dan Muslim : "ini (menstruasi) adalah sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah untuk wanita keturunan Adam".

Ada 8 makluk hidup yang mengalami menstruasi:

1. Seorang Wanita
2. Kelelawar
3. Serigala
4. Marmut
5. Onta
6. Cicak
7. Kuda
8. Anjing

Namun saat mengalami menstruasi semuanya tidak teratur dan tidak mempunyai waktu-waktu tertentu kecuali seorang wanita.dan ketika seorang wanita mengalami menstruasi ada ketentuan tersendri dalam islam untuk mensikapi menstruasi perempuan semisal dalam masaalah ubudiah dan lain sebagainya.
Baca Selengkapnya...

Rabu, 24 Februari 2010

Pendapat tentang bercadar

Aurat adalah suatu bagian dari manusia yg wajib di tutupi. anjuran penutupan auratpun berbeda beda. tergantung kontek masalahnya.ketika aurat itu wajib di tutup maka sebatas apakah aurat yg wajib di tutup? Di sini banyak kalangan Ulama berbeda pendapat tentang bagian apa saja yg harus tertutup.ada juga ulama yg mengatakan seluruh anggota tubuh wanita iyalah aurat, ini di pandang dari sudut aurat perempuan berbeda dengan laki – laki yg cenderung lebih sedikit anggota yg di anggap sebagai aurat. Agar supaya tidak melebar apa yg akan saya tulis saya akan coba menitik poinkan kepada mana saja anggota perempuan yg wajib di tutupi.
- Jumhur al fuqaha berpendapat bahwasanya wajah seorang perempuan itu tidak termasuk aurat , selama perempuan tersebut memakai pakaian yg tidak mensifati sesuatu yg terdapat di tubuhnya, yang di maksut dengan tidak mensifati disini iyalah , tidak boleh bagi perempuan memakai pakaian yg menonjolkan lekuk lekuk tubuhnya dan tidak boleh berpakaian yg terbuka kecuali wajah dan telapak tangan, dan anjuran sara’ tentang pakaian yg di anjurkan di pakek oleh perempuan iyalah kebalikannya yaitu pakean yg tertutup dan tidak menonjolkan lekuk tubuhnya. Dalil atas statemen mayoritas fuqaha tentang point di atas sebagai berikut : terjemahan surah Al nur ayat 31.

Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka.

Disini mayoritas fuqaha mengartikan “ yang nampak dari mereka” iyalah alwajhu wal al kaffan ( wajah dan telapak tangan ) dan penafsiran itu juga di kuatkan oleh ucapan imam Ibnu jurair al tobary , dan imam nawawi dari madzhab syafi’i juga mengatakan bahwasanya aurat perempuan yg merdeka iyalah semua anggota badan kecuali wajah dan dua telapak tangan. Ulama – ulama yg mengatakan bahwa aurat perempuan itu adalah seluruh anggota badan kecuali wajah dan kedua telapak tangan di antaranya iyalah : al auza’i , abu khanifah , dan al saury . pendapat beliau juga dikuatkan oleh ulama ulama ahli tafsir, hadist , dan fiqh .
Ketika kita sudah mengetahui bahwa yg tidak termasuk aurat perempuan adalah wajah dan kedua telapak tangan timbul mas’alah , bagaimana jika seseorang memakai nikab atau biasa kita kenal dengan istilah cadar , apakah pemakaian cadar termasuk anjuran atau hanya sebatas adat yg sering di pakai oleh sebagian kalangan. Disini saya mengutip pendapat al syaih Ali jum’ah mufti jumhuriyah misr. Beliau berpendapat bahwa pemakaian nikab atau cadar itu tidak termasuk sesuatu yg di anjurkan . dengan berlandaskan dalil aqliyah yg penulis fahami dari statement beliau. di antara dalil aqliyah yg coba akan saya utarakan pada kesempatan kali ini iyalah :
Seorang perempuan didalam menjalani sebuah kehidupan tidak akan terlepas dari muamalah, ketika proses muamalah di laksanakan dengan seperti itu akan timbul madhorot yg mungkin timbul dari tidak adanya ta’yin bil mustari. si penjual tidak mengetahui siapa yg memebeli barangnya disebabkan tertutupnya wajah si pembeli. ketika seperti itu akan terjadi perselisihan jika terjadi cacat pada barang yg di beli, si pembeli akan sulit untuk mengembalikan barang yg sudah di beli kepada si penjual dengan alasan tidak adanya ta’yin bil mustari yg di utarakan oleh si penjual .
Dan juga ketika alasan sebagian kalangan yg mengatakan bahwa aurat perempuan adalah semua anggota badan perempuan, sehingga mereka menutup seluruh badan tampa terkecuali wajah dan telapak tangan , pendapat itu saya kira kurang tepat dengan alasan ketika orang menganggap bahwa wajah termasuk aurat sehingga mereka menutup wajah dan menampakkan matanya saja, apakah tidak di pertimbangkan bahwa wajah dan mata itu lebih indah mata , dan ketika di tutup semuanya apakah tidak di mungkinkan terjadi madhorot dalam segi muamalah dll. Dengan berlandaskan dalil mayoritas fuqaha saya kira statemen yg pas untuk permasalahan di atas adalah tidak di anjurkanya memakai nikab atau dengan kata lain praktek adanya memakai cadar itu timbul dari adat bukan dari tuntutan sara’. Dan perlu di garis bawahi bahwasaya wajah dan telapak tangan di katakan tidak termasuk aurat perempuan bukan berarti kita bisa sesuka hati melihat wajah perempuan, garis bawahnya iyalah boleh memandang wajah wanita dan telapak tanganya dengan tampa ada syahwat..saya kira cukup sampai disini saja apa yg bisa saya ungkapkan..kurang lebih saya minta maaf bila terdapat kesalahan dalam menulis dan penta’biran . kritik dan masukan yg membangun dari anda semua sangat saya harapkan.
Daftar pustaka :
Al niqab adatun wa laisa ibadah oleh , Prf .Dr. mahmud hamdy
Baca Selengkapnya...

Minggu, 24 Mei 2009

Imam Syafi'i
Beliau adalah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi' Al-Hasyimi Al-Qurosyi Al-Muttholibi,kunyah beliau adalah Abu Abdillah dan di nisbatkan pada (Syafi' bin Al-Saib) maka beliau di panggil dengan panggilan Al-Syafi'i kemudian nama panggilan ini terkenal sampai-sampai mengalahkan nama asli beliau. Nasab beliau kumpul dengan junjungan Nabi kita Muhammad SAW pada Abdu Manaf bin Qushoyyi.
Al-Syafi'I lahir di Guzzah di negara Syam pada tahun (150 H), sebenarnya Guzzah ini bukanlah tempat nenek moyang beliau akan tetapi saat itu ayah beliau Idris datang ke Guzzah bersama istrinya, dan akhirnya beliau pun meninggal di sini, kemudian lahirlah Al-Syafi'i di kota Guzzah ini. Setelah Al-Syafi'i berumur dua tahun ibu beliau khawatir akan keterasingan nasab beliau, kemudian beliau memutuskan untuk balik ke Makkah Al-Mukarromah tempat nenek moyang beliau. Imam Syafi'i lahir sebagai anak Yatim yang menjalani hidup dalam perawatan ibunya. Setelah Al-syafi'i mulai hidup di Makkah telah tiba untuk beliau masa-masa pendidikan, maka ibu beliau menyerahkan beliau kepada seorang guru supaya di didik tentang Al-Quran Al-Karim hingga akhirnya ibu beliau merasa tidak sanggup untuk membayar biaya pendidikan beliau maka Al-Syafi'i pun disuruh untuk tidak meneruskan pendidikan beliau. Akan tetapi ketika seorang pengajar mengajar anak yang kurang cerdas maka ketika itu Al-Syafii menangkap dengan cepat apa yang telah di ajarkan dari pengajar kemudin ketika pengajar tadi sudah meninggalkan tempatnya maka Al-Syafi'i pun mengajarkan apa yang telah di ajarkan dan yang telah dia hafal kepada anak-anak kecil yang lain, Dan setelah hal ini di ketahui oleh pengajar maka Al-Syafi'I pun di bebaskan dari biaya pendidikan oleh pengajarnya sampai beliau benar benar hafal Al-Qur'an ketika beliau umur tujuh tahun.
Setelah beliau berumur tujuh tahun dan sudah hafal Al-Qur’an beliau memutuskan untuk pergi ke Qobilah (Hudzail) daerah baduwi yang terkenal dengan kefashihannya dimasa itu, dan di sini beliau belajar ilmu lughot dan menghafal kan sya'ir-syair arab.
Setelah beliau merasa cukup dengan ilmu lughotnya maka beliau memutuskan untuk kembali ke Makkah Al-Mukarromah, kemudian beliau belajar ilmu Fiqh kepada mufti Makkah dimasa itu Muslim bin Kholid Al-Zanji, sampai akhirnya beliau diberi izin oleh guru beliau Muslim Al-Zanji untuk berfatwa ketika beliau berumur lima belas tahun.
Karena semangat beliau yang berkobar-kobar untuk menuntut ilmu maka beliau pun memutuskan untuk ke Madinah Al-Munawwaroh dan disini beliau menuntut ilmu kepada Imam Malik yang saat itu menjabat mufti Madinah Al-munawwaroh. Kemudian Al- Syafi'i membacakan Al Muwattho' yang telah beliau hafal dihadapan Imam Malik sampai akhirnya beliau sudah pada tingkatan Rijal, kemudian beliau memutuskan untuk mencari rizqi untuk kecukupan kehidupan beliau hinnga akhirnya beliau dibantu oleh Abdullah bin Al-Qurosyi mufti Yaman untuk mendapatkan pekerjaan.
Telah dirawatkan dari Al-Syafi'i bahwa beliau berkata " Aku mengalami kepailitan tiga kali, sampai-sampai aku telah menjual sedikit dan banyak dari apa yang telah aku miliki hingga perhiasan anak dan istriku ………."
Al-Syafi'i menikah dengan (Khamidah) binti Nafi' bin 'Ansah bin Amr bin Utsman bin Affan dan akhirnya beliau mempunyai anak Muhammad (menjabat Qodli dikota Madinah), Khalab, Fathimah dan Zainab.

Sanjungan para Ulama' kepada imam Syafi'i
Imam Syafi'i telah menempati tempat yang tinggi dalam bidang Fiqh dan beberapa ilmu yang lain, hingga banyak ulama' yang menyanjung beliau:
Sanjungan Imam Ahmad bin Hanbal atas Al-Syafi'i:
- Imam Ahmad bin Hanbal ketika di tanya oleh anak beliau kenapa sering kali menyanjung Imam Al-Syafi'i dan beliau pun menjawab " Al-Syafi'i untuk manusia itu bagaikan kesehatan untuk badan manusia, dan bagaikan matahari untuk dunia, maka pikirkanlah apakah kedua hal ini ada penggantinya?"
- Imam Ahmad berkata " Aku tidak mengetahui tentang yang menasih hadits dari mansuhnya sampai aku belajar pada Al-Syafi'i"
- Beliau berkata juga " Tidak ada seorangpun dari orang yang memiliki tinta dan kertas kecuali Al-Syafi'i memiliki ……….."
- Yahya bin Sa'd Al-Qotthon berkata " Aku tidak mengetahui yang lebih pandai dan cerdas dari Al-Syafi'I, dan aku slalu berdoa kepada Allah yang aku khususkan kepada beliau seorang didalam setiap sholat".
- Abdur Rahman bin Mahdi berkata " Ketika aku melihat (Al-Risalah) milik Al-Syafi'i yang telah mengherankan diriku, maka aku telah melihat perkataan dari seseorang yang cerdas dan fasih dan juga tulus hatinya, maka kemudian aku memperbanyak doa untuknya".
- Dan beliau berkata juga " Aku tidak akan sholat kecuali aku berdoa untuk Al-Syafi'i didalam sholat ini"

Guru-Guru Imam Imam Syafi'i
Imam Syafi'i telah menimba ilmu dari banyak ulama' besar, baik yang berada di Makkah Al-Mukarromah, Madinah Al-Munawwaronh, Yaman dan Iraq.
Guru-guru beliau yang dari Makkah Al-Mukarromah adalah sebagai berikut:
- Muslim bin Kholid Al-Qurosyiyyi Al-Zanji Imam penduduk Makkah, beliau asalnya dari Syam beliau mempunyai laqob Al-Zanji (kulit hitam atau negro) karena warna kulit beliau yang terlalu putih sampai kelihatan kemerah-merahan. Imam Al-Syafi'I menuntut ilmu pada beliau sebelum menuntut ilmu pada Imam Malik, beliau wafat pada tahun (179 H).
- Sufyan bin Uyainah bin Maimun Al-Hilali pakar hadits kota Makkah. Beliau adalah seorang yang buta, dan beliau telah haji tujuhpuluh kali, wafat pada tahun (198 H). Imam Syafi'I berkata " Jika tidak ada Malik dan Sufyan maka ilmu di Hijaz telah hilang".
- Sa'd bin Salim Al-Qodakh.
- Dawud bin Abdur Rohman Al-'Atthor.
- Abdul Hamid bin Abdul Aziz bin Abu Zuwad.

Guru-guru beliau yang dari Madinah Al-Munawwaroh adalah sebagai berikut:
- Imam Malik bin Anas bin Malik imamnya kota hijroh, wafat pada tahun (197 H).
- Ibrohim bin Sa'd Al-Anshori.
- Abdul Aziz bin Muhammad Al-Darowardi.
- Ibrohim bin Abu Yahya Al-Asami.
- Muhammad bin Sa'id bin Abu Fadik.
- Abdullah bin Nafi' Al-Shoigh.

Guru-guru beliau yang dari Yaman adalah sebagai berikut:
- Mathrof bin Mazin.
- Hisyam bin Yusuf Abu Abdir Rohman beliau adalah Qodli Sana'a, wafat pada tahun (197 H).
- Amr bin Abu Salamah (murid dari imam Al-Auza'i)
- Yahya bin Hassan (murid dari Imam Laits bin Sa'd)

Guru-guru beliau yang dari Iraq adalah sebagai berikut:
- Waki' bin Al-Jarokh bin Malikh Abu Sufyan pakar hadits kota Iraq dimasanya, wafat pada tahun (197 H).
- Khamad bin Usamah Al-Kufi Abu Usamah, wafat pada tahun (201 H).
- Isma'il bin Aliyyah Al-Bashri.
- Abdul Wahhab bin Abdul Majid Al-Bashri.
- Muhammad bin Al-Khasan Al-Syaibani (murid Imam Abu Hanifah).

Mereka semua adalah para guru-guru Imam Al-Syafi'I yang masyhur didalam ilmu Fiqh dan Fatwa, dari sini kita bisa ketahui bahwa Imam Syafi'I telah mengambil Fiqh dari banyak madzhab yang ada dimasa beliau, telah diketahui bahwa beliau mengambil fiqh Imam Malik, Fiqh Imam Al-Auza'i dari muridnya Amr bin Salamah, fiqh Imam Laits dari muridnya Yahya bin Hassan, dan juga mengambil Fiqh Imam Abu Hanifah dari muridnya Muhammad bin Al-Hassan. Maka dari ini semua terkumpulah pada diri imam Syafi'i Fiqh Makkah, Madinah, Iraq dan Mesir.
Dan Imam Syafi'I mempelajari fiqh dari beberapa madzhab ini dengan cara mengkritisi ,menyelidiki dan mencari pemahaman bukan dengan mencela dan menjadi pengikut. Maka setelah mempelajari ini semua imam Syafi'I mengambil apa yang harus di ambil menurut pemikiran beliau dan menolak apa yang harus ditolak menurut pemikiran beliau juga dengan dasar Al-Quran Al-Karim, Hadits, menjaga kemaslahatan dan mencegah kemafsadahan.

Murid-murid Imam Syafi'i:
Imam Syafi'I mempunyai beberapa murid yang telah mengambil fiqh dari beliau pada setiap periode dari tiga periode, yaitu di Makkah, Bagdad dan Mesir. Maka Imam Syafi'I mempunyai murid-murid yang telah bertemu beliau ketika di Makkah, juga murid yang telah bertemu beliau di Bagdad untuk kedua kalinya dan juga murid yang bertemu beliau pada akhir masa beliau di negara Mesir.

Murid-Murid Imam Syafi'I di Makkah Al-Mukarromah adalah sebagai berikut:
- Abu Bakar Abdullah bin Zubair Al-Asadi Al-Makky Al-Khamidy, beliau ini ikut pergi bersama imam Syafi'i dari Makkah Al-Mukarromah menuju ke Bagdad dan dari Bagdad menuju ke Mesir, dan beliau menetapi imam Syafi'i sampai imam Syafi'I wafat, kemudian beliau kembali ke Makkah Al-Mukarromah dan berfatwa untuk ahli Makkah sampai beliau wafat pada tahun ( 219 H) dan ada yang mengatakan pada tahun (220 H).
- Abu Al-Walid Musa bin Abu Al-Jarwud.
- Abu Ishaq Ibrohim bin Muhammad Al-Abbasi, wafat di Makkah Al-Mukarromah pada tahun (237 H).

Murid-Murid Imam Syafi'i di Bagdad Iraq adalah sebagai berikut:
- Abu Tsaur Al-Kalabi Ibrohim bin Kholid Al-Bagdadi wafat pada tahun (240 H) .
- Abu Ali Al-Khusain bin Ali Al-Karobisy, dipanggil dengan sebutan Al-Karobisy karena beliau adalah penjual Karobis (pakaian tebal), wafat pada tahun (245 H) dan ada yang mengatakan (256 H) .
- Abu Ali Al-Khusain bin Muhammad bin Al-Khusain Al-Za'farony dinisbatkan pada (Za'faronah) suatu desa dekat dengan kota Bagdad, wafat pada tahun (260 H) dan ada yang mengatakan (249 H) .

Murid-murid Imam Syafi'I di Mesir adalah sebagai berikut:
- Kharmalah bin Yahya bin Abdullah bin Kharmalah Al-Misry, wafat pada tahun (243 H) dan ada yang mengatakan (244 H) .
- Abu Ya'qub Yusuf bin Yahya Al-Qurosyy Al-Buwaithy, dinisbatkan pada (Buthi) sebuah desa didataran tinggi negara Mesir.Beliau ini adalah termasuk sebagian dari pembesar Ashhab Al-Syafi'i dan menjadi pengganti Imam Syafi'I setelah beliau wafat.
Imam Syafi’i berkata tentang Al-Buwaithy “ Tidak ada seorangpun yang lebih berhak dengan kedudukanku dibanding Abi Ya’qub, tidak ada seorang pun dari ashhabku yang lebih pandai daripada dia”. Beliau wafat dalam penjara pada tahun (232 H) dan ada yang mengatakan (231 H) .
- Abu Ibrohim Isma’il bin Yahya Al-Muzany Al-Mishry. Imam Syafi’i berkata tentang beliau “ Ketika dia melihat syetan dia akan mengalahkanya”, beliau wafat pada tahun (264 H) dan dimakamkan dekat dengan makam imam Syafi’i .
- Al-Robi’ bin Sulaiman bin Abdul Jabbar Al-Murody, seorang muadzin masjid Jami’ Mesir dan juga menjadi khodim Imam Syafi’i. Imam Syafi’i berkata “ Sesungguhnya dia itu paling kuat hafalanya diantara Ashabku, manusia dari beberapa penjuru bumi pergi menuju dia untuk mengambil ilmu Al-Syafi’i dan riwayat kitabnya”. Ketika diucapkan Al-Robi’ dalam kitab-kitab Al-Syafi’iyyah maka yang diharapkan adalah Al-Robi’ Al-Murody, wafat pada tahun (270 H) .
- Al-Robi’ bin Sulaiman bin Dawud Al-Jizy dinisbatkan dari (Jizah), beliau sedikit meriwayatkan dari imam Syafi’i, wafat pada tahun (256 H) .

Sebagian orang yang menimba ilmu dari imam Syafi’i dan tidak menjadi pengikut madzhab beliau adalah Imam Ahmad bin hanbal.

Kepercayaan pada Allah SWT, beragama dan Tawadlu’nya Imam Syafi’i
Para Ulama’ menyebutkan bahwasanya Imam Syafi’I ketika datang ke Mesir menghadaplah kepada beliau Al-Robi’ Al-Murody dan memberi nasihat supaya beliau dapat kedudukan dihadapan Hakim dan beliau akan kelihatan mulia dihadapan manusia, dan menyimpan makanan untuk setahun didalam rumahnya. Tapi Imam Syafi’I pun menolak sambil berkata “ Hai Robi’ seseorang yang dirinya tidak di agungkan pleh ketaqwaan maka tidak ada keagungan untuknya, Aku telah dilahirkan di Guzzah dan aku dirawat di Hijaz dan aku tidak mempunyai makanan pada waktu malam………………..
Perkataan ini menunjukan atas kepercayaan beliau yang mutlak pada Allah SWT, dan diriwayatkan bahwasanya beliau berkata “ Ketika aku tidak melihat seseorang, maka aku suka ketika dia salah, tidak ada dalam hatiku dari ilmu kecuali aku bimbang bahwa ketika dia dihadapan setiap orang dan tidak menisbatkan kepada diriku.”

Fiqh Imam Syafi’i
Imam Syafi’I tidak mengarah pada pembuatan madzhab yang independen atau ikut beberapa pendapat fiqh yang independen dari beberapa pendapat Imam malik, sampai akhirnya ketika beliau pergi menuju Bagdad untuk yang pertama kalinya beliau menerima itu semua, dan dimasa itu beliau di anggap dari Ashab Imam Malik yang selalu menjaga beberapa pendapat beliau dan melawan mereka para Ahli Al-Ro’yu untuk menjaga Fiqh Madinah, hingga beliau di sebut dengan sebutan Nashiru Al-Hadits (Penyelamat Hadits).
Dan setelah cukup lama beliau menetap di Bagdad, kemudian beliau memutuskan untuk mempelajari kitab-kitabnya Muhammad bin Al-Hassan murid dari imam Abu Hanifah, kemudian beliau mendebat dan mengkritik para Ahlu Al-Ro’yi, setelah ini semua maka beliau merasa bahwasanya beliau harus keluar untuk para manusia dengan kompisisi atau campuran dari fiqh Ahli Iraq dan fiqh ahli madinah. dan beliau pun mengarah pada mempelajari pendapat-pendapat Imam Malik dengan pelajaran pengkritikan dan penyelidikan bukan pelajaran kefanatikan dan penyelamatan, dan mungkin perdebatan dari pendapat Imam Malik dan ketika mengalahkan kefanatikan maka akan menunjukan beberapa kekurangan. Seperti terjadinya beberapa keunggulan dan kekurangan fiqh ahli Iraq menurut pandangan beliau dalam pengkritikan dan pembelajaran beliau maka saat ini diharuskan ada pemikiran dan pengarahan penbaharuan. Maka sesungguhnya munaqosyah dalam furu’ dah pengarahanya pada mengetahui Ushulnya dan membahas batas-batas dan ukuran maka Syafi’i pun keluar dari Bagdad dan mencetuskan garis-garis pembaharuan.

Pembagaian masa imam Syafi’I dalam pembuatan pendapat-pendapat beliau dalam tiga masa:
- Di Makkah Al-Mukarromah.
- Di Madinah Al-Munawwaroh.
- Di Mesir.
Dan pada setiap masa ini munculah murid-murid Imam Syafi’I yang belajar dari beliau dan mensyiarkan madzhab beliau di masanya.
Imam Syaf’I menetap di kota Makkah Al-Mukarromah setelah beliau dari Bagdad yang pertama dalam jangka sekitar sembilan tahun. Dan disini beliau merasa paling semangat di masa-masa penuntutan ilmu, dikarnakan di masa ini beliau banyak memperhatikan beberapa pendapat para ulama’-ulama’ besar dimasa itu.


Beberapa Istilah Fiqh khusus dalam Madzhab Syafi’iyah

Imam Syafi’I menggunakan lafadz (Fardlu) untuk makna sesuatu yang wajib atau yang diharuskan untuk melaksanakanya. Seperti juga beliau menggunakan kata (Muharrom atau Harom) untuk sesuatu yang harus ditinggalkan dan pada sesuatu yang menjadi kebalikan Fadlu.
Beliau menggunakan kata (Karohah) untuk arti sesuatu yang dianggap bagus untuk dilaksanakan semisal : diriwayatkan bahwasanya sesungguhnya nabi Muhammad SAW berkata “ Bumi itu masjid kecuali kuburan dan toilet ” disini Imam Syafi’i memberi illat bahwasanya sesungguhnya kuburan dan toilet itu tidak suci, kemudian berkata kuburan adalah tempat yang dibuat mengubur masyarakat umum, ini seperti pasir yang bercampur dengan para mayat. Adapun (shohro’) sahara atau padang pasir yang tidak pernah dibuat mengubur sama sekali kemudian dibuat mengubur suatu kaum yang telah mati kemudian tidak menggerakkan kuburan tadi maka ketika ada seseorang sholat pada kuburan tadi atau pada atasnya maka Imam Syafi’I menghukumi makruh dan tidak menyuruh untuk mengulang sholatnya dikarnakan diketahui bahwa pasir itu suci dan tidak bercampur dengan sesuatu apapun” .

Seperti beliau juga menggunakan kata (Uhibbu) untuk arti sesuatu yang bagus untuk dilaksanakan, akan tetapi tidak sampai tahap wajib, semisal perkataan Imam Syafi’i tentang pelepasan anjing atau burung yang sudah jinak, Imam Syafi’i berkata “ketika seorang lelaki muslim melepas anjing atau burungnya yang sudah jinak aku menyukai untuk dia membaca basmalah, maka ketika dia lupa tidak membaca basmalah kemudian anjing atau burung tadi membunuh buruannya maka untuk dia boleh memakanya dikarenakan orang muslim yang menyembelih itu atas nama Allah SWT meskipun dia lupa” .
Dan Imam Syafi’i berkata “Dan aku menyukai pada sembelihan supaya menghadap kearah qiblat ketika hal itu memungkinkan, dan ketika penyembelih tidak melaksanakannya, maka dia telah meninggalkan sesuatu yang aku menyukainya dan itu tidak mengharamkan pada yang disembelih”. Al-Robi’ meriwayatkan “ Aku bertanya kepada Al-Syafi’i; Apakah anda membaca Ummul Qu’an dibelakang imam pada rokaat akhir secara pelan? Maka Imam Syafi’I menjawab: Aku suka itu dan tidak mewajibkan atas hal itu” .
Dan kata (Akrohu) menurut Imam Syafi’I yang telah diterangkan di atas kadang juga menggunakan istilah (Lam Uhibbu) .
Imam Syafi’I menggunakan istilah (La Ba’sa) untuk sesuatu yang diperbolehkan tanpa kemakruhan dan kesunatan. Semisal imam syafi’i berkata tentang zakat fitri “ Tidak apa ketika melaksanakan zakat fitrah dan mengambilnya ketika dibutuhkan dan selainnya dari shodaqoh yang diwajibkan dan yang lainya” . Dan beliau berkata “ seseorang yang menjual barang dari beberapa barangnya sampai pada masa dari beberapa masanya, dan pembeli telah menerimanya maka tidak apa ketika dia menjualnya pada orang yang membelinya dengan harga yang lebih rendah atau lebih tinggi, baik dengan hutang atau kontan dikarenakan barang yang di jual itu bukanlah barang yang telah di jual pertama kali” .
Seperti juga beliau menggunakan kata (Ja’iz) untuk arti boleh tanpa ada kemakruhan atau kesunatan .
Seperti beliau juga menggunakan istilah (La Khoiro fihi) untuk sesuatu yang diharamkan dalam artian tidak di perbolehkan .

Dasar-dasar dalil fiqh pada madzhab Syafi’iyyah
Sebenarnya dasar-dasar dalil syar’i yang di buat sandaran Imam Syafi’I itu terbatas pada empat:
- Al-Qur’an Al-Karim
- Al-Sunnah Al-Nabawiyyah
- Ijma’ Ulama’
- Qiyas
Dan telah tersebar madzhab Syafi’iyyah pada Negara Hijaz, Iraq, Mesir, Syam dan yang lainya. Dan Imam Syafi’I sendiri yang menyebarkannya pada Negara Hijaz, Iraq, Mesir dengan mengajarkannya dan menyebarkan kitab-kitab karangan beliau dan setelah itu para murid beliau lah yang bertanggung jawab setelah beliau wafat dengan mengajarkan kepada para pengikutnya.

Istilah-istilah nama atau sebutan dalam madzhab Syafi’iyyah
- (Al-Imam) yang diharapkan adalah Imam Al-Haromain Al-Juwainy. Beliau adalah Abdul Malik bin Abdillah bin Yusuf pengarang kitab Al-Nihayah, Al-Burhan dan yang lainnya, wafat pada tahun (478 H) .
- (Al-Qodli) yang di harapkan adalah Al-Qodli Husain Abu Ali Muhammad bin Ahmad Al-Marwazy, sebagian dari karangannya adalah kitab Syarkhu Talkhisi ibni Al-Qodli dan kitab Syarkhun ‘Ala Furu’i ibni Al-Khaddad, wafat pada tahun (462 H) .
- (Al-Qodliyani) yang di harapkan adalah:
1- Ali bin Muhammad bin Habib Al-Mawardy pengarang kitab Al-Khawy dan kitab Al-Ahkam Al-Shulthoniyyah dan yang lainya, wafat pada tahun (450 H) .
2 – Abdul Wahid bin Isma’il bin Ahmad Al-Ruyany, wafat pada tahun (501 H) .
- (Al-Syaikhoni) yang di harapkan adalah:
1- Abdul Karim Muhammad bin Abdul Karim Al-Rofi’i Abu Al-Qosim Al-Quzwainy pengarang kitab Al-Aziz Syarkhu Al-Wajiz, wafat pada tahun (634 H) .
2- Yahya bin Syarof Abu Zakariyya Al-Nawawi, beliau memiliki banyak karangan yang di antaranya adalah kitab Al-Roudloh, Syarhu Muslim dan Al-Tahqiq, wafat pada tahun (677 H) umur beliau sekitar empat puluh lima tahun .
- (Al-Syuyuh) yang diharapkan adalah Imam Nawawi, Imam Rofi’I dan Imam Al-Shubki yaitu Taqiyyuddin Ali bin Abdul Kafi Al-Shubki Syaihul Islam di masanya, wafat pada tahun (756 H) .
- (Al-Syarih) ketika di ucapkan menggunakan Al (Al-Syarih) atau (Al-Syarih Al-Muhaqqiq) maka yang di harapkan adalah Jalaluddin Al-Makhally Muhammad bin Ahmad bin Ibrohim yang mensyarahi kitab Al-Minhaj karangan imam Nawawi, dan beliau juga mempunyai beberapa karangan yang sangat bermanfaat, wafat pada tahun (874 H).
Akan tetapi dalam kitab (Syarkhu Al-Irsyad) kitab karangan Al-Maziyyi, ketika di ucapkan (Al-Syarih) maka yang di harapkan adalah Al-Jaujary beliau adalah Muhammad bin Abdul Mun’im Al-Qohiry Syamsuddin, sebagian dari peninggalan beliau adalah Syarhu Al-Irsyad, Tashilu Al-Masalik Ila Umdati Al-Salik Li Ibni Al-Naqib, wafat pada tahun (889 H).
- (Syarih) ketika diucapkan istilah Syarih tanpa menggunakn Al maka yang diharapkan adalah salah satu dari pensyarah untuk kitab manapun yang ada, ini tidak ada bedanya baik yang ada pada kitab (Tuhfatu Al-Muhtaj) atau yang lainnya, berbeda pendapat dengan orang yang megatakan bahwasanya yang di harapkan adalah -Syuhbah-.
- (Syaihuna, Al-Syaih atau Syaihu Al-Islam) yang diharapkan adalah Zakariyya bin Muhammad bin Ahmad Al-Anshory beliau mempunyai beberapa karangan yang menunjukkan keutamaannya, wafat pada tahun (926 H) .
- (Syaihi) ketika yang mengucapkan istilah ini adalah Al-Khotib Al-Syirbini maka yang di harapkan adalah Al-Syihab Ahmad bin Ahmad Al-Romly, wafat pada tahun (971 H). Ini adalah yang di harapkan Al-jamal Al-Romli dengan ucapan “ Orang tuaku telah berifta’ dengan ini dan sebagainya” .
- ketika Imam Al-Syairozi dalam kitab (Al-Muhaddzab) menggunakan istilah (Abu Al-Abbas) maka yang di harapkan adalah Ahmad bin Suraij Al-Bagdady Syaihu Al-Syafi’iyyah di masanya, wafat di Bagdad pada tahun (306 H) umur beliau limapuluh tahun lebih enam bulan . Dan ketika Al-Syairozi mengharapkan Abu Al-Abbas bin Al-Qodli maka beliau akan memberi catatan tersendiri.
Ketika menggunakan istilah (Ibnu Al-Qosh) maka yang di harapkan adalah Ahmad Al-Thobary beliau belajar fiqh dari Ibnu Suraij, wafat pada tahun (335 H). Al-Qosh adalah seseorang yang menganjurkan untuk menyebutkan beberapa kisah.
Ketika Imam Al-Syairozi menggunakan istilah (Abu Ishaq) dalam kitab Al-Muhaddzab maka yang di harapkan adalah Al-Marwazy Ibrohim bin Ahmad murid dari Ibnu Suraij, wafat pada tahun (340 H) , imam Nawawi berkata “ Imam Syairozi tidak menyebutkan Abu Ishaq Al-Isfiroyiny dalam kitab Al-Muhaddzab “.
Ketika Imam Syairozi menggunakan istilah (Abu Sa’id) dalam kitab Al-Muhaddzab maka yang di harapkan adalah Al-Isthohry Abu Sa’id Al-Hasan bin Ahmad, wafat pada tahun (328 H), beliau dan Ibnu Suraij adalah Syaihu Al-Syafi’iyyah di negara Bagdad .
Imam Nawawi berkata “ imam Al-Syairozi tidak menyebutkan Abu Sa’id dari ahli fiqh selain beliau”.
- (Abu Hamid) istilah ini di gunakan dalam kitab Al-Muhaddzab untuk dua orang :
1- Al-Qodli Abu Hamid Al-Marwazy Ahmad bin Basyar bin Amir, wafat pada tahun (362 H).
2- Syeih Abu Hamid Al-Isfiroyiny Ahmad bin Muhammad, wafat pada tahun (406 H).
Imam Nawawi berkata setelah menyebut beliau berdua “…akan tetapi beliau berdua di sebut dengan catatan Al-Qodli dan Al-Syaih maka tidak akan ada keserupaan, pada kitab Muhaddzab tidak ada Abu Hamid selain beliau berdua tidak dari Ashab kita dan tidak dari yang lainnya”.
- (Abu Al-Qosim) di gunakan dalam kitab Al-Muhaddzab dan yang di harapkan adalah empat Imam yaitu: Al-Anmathy, Al-Daroky, Ibnu Kajjin dan Al-shoimary. Tidak di temukan dalam kitab Al-Muhaddzab istilah Abu Al-Qoshim selain beliau empat ini.
- (Abu Al-Thoyyib) dalam kitab Al-Muhaddzab yang di harapkan adalah dua imam dari ahli fiqh Syafi’iyyah yaitu: Ibnu Salamah dan Al-Qodli Abu Al-Thoyyib guru dari imam Syairozi. Dan beliau berdua ini di sebut dengan di sifati .
- Ketika dalam kitab Al-Muhaddzab menyebutkan istilah (Al-Robi’ min Ashabina) maka yang di harapkan adalah Al-Robi’ bin Sulaiman Al-Murody murid dari Imam Syafi’I, di dalam kitab Al-Muhaddzab tidak ada Al-Robi’ selain beliau, tidak dari kalangan fuqoha’ atau yang lain kecuali pada masalah penyamakan kulit apakah bulunya suci? Ini yang di harapkan adalah Al-Robi’ bin Sulaiman Al-Jiyi.
- Imam Nawawi berkata “ ketika aku mengucapkan kata (Ana) pada Al-Syarhu, Dzikri dan Al-Qoffal maka yang aku maksud adalah Al-Marwazy, dikarnakan beliau yang paling masyhur pada pemindahan (naqlu) madzhab………….Adapun Al-Syasyi penyebutan beliau sedikit kalau di banding Al-Marwazy di dalam madzhab. Maka ketika yang aku harapkan adalah Al-syasi maka aku akan memberi catatan.
- (Al-Muhammadun Al-Arbaah) beliau adalah:
1- Muhammad bin Nashr Abu Abdillah Al-Marwazy, wafat pada tahun (294 H).
2- Muhammad bin Ibrohim bin Al-Mundzir, wafat pada tahun (309 H) atau (310 H).
3- Muhammad bin Jarir Al-Thobary, wafat pada tahun (310 H).
4- Muhammad bin Ishaq bin Khozimah, wafat pada tahun (311 H).
Beliau empat ini telah sampai pada tingkatan mujtahid mutlaq, beliau meskipun keluar dari pendapat Imam Syafi’i dalam beberapa masalah tapi secara keseluruhan beliau-beliau ini tidak keluar dari pendapat Imam Syafi’i secara keseluruhan, maka beliau-beliau ini tetap di anggap sebagai Syafi’iyyah dan dari ushul mereka dikeluarkan.
- (Al-Ashab) yang di harapkan adalah beliau-beliau para pendahulu Syafi’iyyah, beliau adalah para Ashabul Aujuh secara keseluruhan, kalau di batasi dengan hitungan masa, beliau ini adalah para Syafi’iyyah yang muncul dari empat ratusan, dan untuk beliau di gunakan istilah Al-Mutaqoddimun karma dekatnya beliau dengan qurun waktu yang di saksikan dengan keberhasilan.
(Tanbih)
Perkataan Imam Al-Rozi dengan kata (Al-Ashab) ini membingungkan, karma kami tidak mengetahui apa yang di harapkan dari Imam Al-Rozi, apakah beliau mengharapkan Al-Syafi’iyyah atau Asya’iroh? Ini di karenakan Imam Al-Rozi sendiri adalah pengikut Syafi’iyyah juga pengikut Asya’iroh. Maka semua ini tidak akan menjadi jelas kecuali ketika Imam Al-Rozi menjelaskan apa yang di harapkan di dalam kitab beliau, atau beliau berpendapat pada masalah fiqh murni maka bisa di ketahui bahwa yang beliau harapkan adalah Al-Syafi’iiyah atau pada masalah aqidah murni maka yang di maksud adalah Asya’iroh. Adapun ketika masalahnya adalah masalah fiqh yang ada sangkut paut dengan ilmu kalam akan susah untuk menentukannya.
- (Al-Mutaahhirun) yang di harapkan adalah mereka para ulama’ Syafi’iyyah setelah qurun keempat, atau bisa di katakan mereka adalah para ulama’ Syafi’iyyah yang datang setelah Imam Nawawi dan Imam Rofi’i.
Kitab-kitab yang di bukukan dalam madzhab Syafi’iyyah

Para ulama’ telah sepakat bahwa kitab-kitab yang dikarang oleh imam Syafi’i dalam ilmu Fiqh itu ada empat kitab : Al-Umm, Al-Imla’, Muhtashoru Al-Buwaity dan Muhtashoru Al-Muzanny. Dan yang di harapkan disini adalah bahwasanya kitab-kitab yang di tulis oleh imam Al-Buwaity dan imam Al-Muzanni dinisbatkan kepada imam Syafi’i tetapi cuma dalam maknanya saja.

Kemudian kitab empat ini di ringkas oleh imam Al-Haromain Al-Juwainy pada karangan beliau yang diberi nama Al-Nihayah , keterangan yang kita sampaikan ini cocok dengan apa yang telah di jelaskan oleh ulama’ mutaahhirun. Akan tetapi kalau kita mengambil pendapatnya Al-Babily dan Ibnu Hajar beliau mengatakan bahwasanya kitab Al-Nihayah adalah Syarah dari kitab Muhtashoru Al-Muzanny dan kitab ini adalah kitab ringaksan dari kitab Al-Umm.
Kemudian setelah itu datanglah imam Al-Ghozaly dengan kitab beliau Al-Bashit, dimana kitab ini adalah ringkasan dari kitab Al-Nihayah, setelah itu beliau meringkas kitab Al-Bashit menjadi kitab Al-Wasith kemudian Al-Wasith di ringkas lagi oleh beliau menjadi kitab Al-Wajiz , dan sampai akhirnya kitab Al-Wajiz di ringkas oleh beliau menjadi Al-Khulashoh.
Setelah itu datanglah imam Al-Rofi’i yang meringkas kitab karangan imam Ghozali yang Al-Wajiz dalam kitab beliau yang diberi nama Al-Mukharror, akan tetapi ada keterangan sedikit di kitab Al-Tuhfah yang menjelaskan bahwasanya kitab Al-Muharror disebut Muhtashor (ringkasan) itu disebabkan sedikit lafadlnya (ringkas), bukan karna ini ringkasan dari Al-Wajiz.
Setelah itu imam Nawawy meringkas kitab Al-Muharror pada kitab beliau yang diberi nama Al-Minhaj, kemudian kitab Al-Minhaj ini di ringkas oleh imam Zakariyya Al-Anshory menjadi kitab Al-Manhaj. Kitab Al-Manhaj pun diringkas oleh imam Al-Jauhri menjadi kitab Al-Nahj.

Selain imam Rofi’i membuat ringkasan dari kitab Al-Wajiz beliau juga mengarang syarah dari kitab Al-Wajiz menjadi dua kitab, yang satu kitabnya agak kecil dan beliau tidak memberi nama pada kitab ini dan yang satunya agak besar yang beliau beri nama Al-Aziz.
Dari kitab Al-aziz ini imam Nawawi meringkasnya menjadi kitab Al-Roudloh, kemudian kitab Al-Roudloh diringkas oleh imam Ibnu Muqri menjadi kitab Al-Roudl, kemudian kitab Al-Roudl ini di syarahi oleh imam Zakariyya Al-Anshori dalam kitab beliau yang diberi nama Al-Asna.

Selain kitab Al-Roudl di syarahi oleh imam Zakariyya Al-Anshori kitab ini juga di ringkas oleh imam Ibnu Hajar yang diberi nama Al-Na’im. kitab ini sangat bagus sekali akan tetapi keberadaan kitab ini sudah tidak muncul di masa imam Ibnu Hajar masih hidup.

Kitab Al-Roudloh karangan imam Nawawi juga di ringkas oleh imam Ahmad bin Umar Al-Muzajjad Al-Zabidy yang diberi nama Al-Ubab, kemudian kitab ini di syarahi oleh imam Ibnu Hajar dalam kitabnya Al-I’ab, akan tetapi kitab Al-I’ab ini belum sampai selesai.

Kitab Al-Roudloh selain diringkas menjadi Al-Ubab juga di ringkas oleh imam Al-Suyuti menjadi kitab Al-Ghoniyyah, beliau juga membuat nadlomanya yang beliau beri nama Al-Khulashoh akan tetapi kitab nadloman ini belum sampai selesai.

Imam Al-Quzwainy juga mengarang ringkasan dari kitab Al-Aziz yang beliau beri nama Al-Khawi Al-Shoghir, kemudian kitab ini dinadlomkan oleh imam Al-Wardy dalam kitab Buhjahnya. Kemudian kitab nadloman Al-Buhjah disyarahi oleh imam Zakariyya Al-Anshori dengan dua kitab syarah.

Setelah itu Ibnu Al-Muqri membuat kitab ringkasan dari Al-Khawi Al-Shoghir menjadi kitab Al-Irsyad, dan kitab ini kemudian disyarahi oleh imam Ibnu Hajar dengan dua kitab syarah.

Imam Ibnu Hajar berkata “Setelah imam Nawawi membuat karangan Al-Roudloh “Datanglah beberapa ulama’ mutaahhirun (Ulama setelah kurun imam Nawawi) dan mereka berbeda-beda tujuan atas kitab-kitab yang telah ada, sebagian ada yang membuat karangan khasiyah (catatan pinggir) dan banyak ulama yang mempunyai gaya seperti ini, dan karangannya pun menjadi karangan yang besar-besar seperti contoh khasyiyahnya imam Al-Adzro’i yang beliau kasih nama Al-Mutawassit Baina Al-Roudloh wa Al-Syarhi, kitab ini berjumlah lebih dari tiga puluh kitab. Begitu juga imam Al-Asnawy, imam Ibnu Al-‘Ammad dan imam Al-Bulqiny beliau-beliau ini adalah para jagoan dari ulama’ mutaahhirin dengan tempatnya yang berkilau.

Setelah kurun ini datanglah imam Al-Zarkasyi, beliau adalah murid dari imam empat diatas (imam Al-Adzro’i, imam Al-Asnawy, imam Ibnu Al-‘Ammad dan imam Al-Bulqiny), beliau membuat karangan yang menjadi kumpulan dari ringkasan khawasi guru-guru beliau yang diberi nama Khodimu Al-Roudloh.
Setelah kita mengetahui bahwasanya kitab-kitab dalam madzhab Syafi’iyyah selalu berkaitan satu dengan yang lain, ini seperti apa yang dikatakan oleh Dr.Muhammad Ibrohim Ali menjadikan ketenangan pada hati kita dan suatu kekaguman pada pembenaran kitab-kitab ini beserta pengarangnya pada madzhab Syafi’iyyah .

cukup sampai segini dulu semoga bermanfa'at bagi penulis dan tentunya bagi orang lain amin.

Daftar pustaka :
1.Al fathu al mubin fi ta'tifi mustalakhat al fuqoha wa al usuliyin oleh : prof.dr.muahammad ibrohim al khafnawy
Baca Selengkapnya...

Sabtu, 16 Mei 2009

Pandangan tentang Taqlid

PROLOG

Segala puja dan puji syukur kita haturkan kepada Allah Swt Sang pencipta alam, yang mana telah memberikan kita semua nikmat Iman, islam, dan kesehatan, sehingga kita bisa menikmati indahnya kehidupan bermasyarakat dan beragama. Atas ridhoNya pula kita bisa merasakan indahnya beribadah dan bisa mengenyam pendidikan di negri seribu menara, negri para auliya` dan ulama` ini, di mana tak semua orang bisa merasakannya, dan diberi kesempatan belajar di Universitas Islam yang tertua di dunia ini. Lalu patut lah bagi kita untuk selalu bersemangat dan ingat pada tujuan awal kita disini, yang tak lain adalah semata-mata untuk menuntut ilmu di jalanNya, sebagai ungkapan syukur kita kepada Allah atas segala nikmat yang telah diberikaanNya. Sholawat berserta salam tak lupa kita sanjungkan dan haturkan kepada kekasih kita nabi besar Muhammad Saw, yang mana telah memberikan suri tauladan kepada umatnya dan membimbing umatnya dari zaman kegelapan (Jahiliyah) menuju zaman yang terang yaitu Al-Dinu Al-Islam.

Selanjutnya dalam kesempatan ini, kami akan sedikit memaparkan tentang pandangan kritis tentang Talfiq dan mengambil Ruhsoh (mengambil pendapat yang mudah), yang mana sebenarnya ini adalah suatu bagian dari permasalahan atau tema besarnya “TAQLID”, bisa dibilang suatu rantai kesatuan yang tak mungkin terpisahkan dan selalu berkaitan satu sama lain. Sebagaimana yang telah kita bahas dan kaji tentang Taqlid pada pertemuan yang telah lalu. Permasalahan talfiq ini muncul dan mulai didengungkan oleh para Ulama` Mutaahhirun selepas tahun sepuluh hijriyah dan tidak dijumpai sebelum tahun tujuh hijriyah. Hal ini mengingat pada zaman Rosululloh tidak ditemui permasalahan seperti ini, karena pada masa itu masa penyampaian wahyu yang tidak membutuhkan ijtihad di dalamnya, begitu juga zaman sahabat dan tabi`in. Maka permasalahan talfiq ini muncul ketika masa masa kemunduran islam (al-uhud al-inhithot). Lalu bagaimana kita menyingkapi permasalahan ini, yang sebagian ulama tidak memperbolehkannya dengan alasan bisa menyalahi Ijma` Ulama`?.
Dan sebagian ulama yang lain memperbolehkannya, karena pada permasalahan talfiq ini tidak ada dalil yang shorih yang menunjukan kebolehan dan pelarangannya. Serta, tujuan agama Islam itu sendiri mempermudah umatnya, sebagaimana Firman Allah Swt dalam surat Al-Nisa` yang berbunyi: ” Allah berkehendak memberikan keringanan dan manusia dijadikan bersifat lemah ” . Karena itu secara tidak langsung menunjukkan akan kebolehan talfiq itu sendiri. Demikian juga menyinggung tentang bagaimana hukumnya orang awam mengambil atau mengikuti pendapat yang paling mudah (tatabbu’u al-rukhsoh) ?! Untuk lebih jelasnya kita akan bahas lebih jauh setelah ini dan kita diskusikan bersama sama.

Demikian selayang pandang dari kami semoga makalah yang jauh dari kesempurnaan ini bisa bermanfaat untuk kita dan menambah pengetahuan kita dalam khazanah keilmuan islam. Amin amin Ya Robal `alamin...!!

A. Definisi Talfiq

Kata Talfiq menurut etimologi (bahasa), memiliki arti menjahit atau menggabungkan . Sedangkan menurut terminologi (istilah), kata Talfiq ini diartikan dengan makna yang berbeda- beda mengikut penerapannya dalam bidang-bidang ilmu. Dengan kata dasarnya yang membawa makna yang luas, kata Talfiq boleh dijadikan istilah tersendiri dalam beberapa bidang ilmu yang berbeda. Namun, penekanan yang dibuat di sini ialah pada bidang ilmu Usul al-fiqh, karena melihat pemahaman talfiq dalam konteks hukum dan perundang-undangan. Serta supaya lebih fokus terhadap tema besar kajian kita kali ini. Di bawah ini adalah beberapa makna Talfiq secara istilah di sisi bidang keilmuan Usul al-fiqh:
a) Talfiq berarti, mengerjakan sesuatu dengan cara seperti yg tidak dikatakan oleh seorang mujtahid, atau dengan kata lain mengambil satu qodliyah yang mempunya kandungan beberapa rukun atau bagian dengan dua pendapat ulama’ atau lebih supaya sampai pada hakikat sesuatu yang tidak ada seorangpun mengatakannya. Atau mencampuradukkan perbuatan dalam satu qodliyah (rangkaian) ibadah yang memiliki dua pendapat atau lebih, lalu pada tahap pelaksanaan mempraktekkan dengan cara yang tak pernah dipilih dan diakui oleh imam madzhab manapun .

b) Beramal dalam satu permasalahan dengan menggunakan dua pendapat bersama-sama atau salah satunya, dengan adanya kesan pendapat yang kedua. .

c) Mencantumkan dalam satu permasalahan, dua pendapat atau lebih sehingga menghasilkan satu kesimpulan yang tidak dikatakan oleh seseorang atau imam madzhab manapun .

d) Perbuatan mencampurkan pelbagai pendapat madzhab dalam sesuatu masalah dan tidak terikat dengan pendapat satu madzhab .

B. Penggambaran Talfiq

Sebagian gambaran talfiq dalam segi ibadah, yaitu sebagai berikut:

- Pertama: Seseorang berwudlu tanpa menggosok (al-dalku) dengan alasan mengikuti madzhab imam Syafi’i, setelah itu dia bersentuhan dengan perempuan tanpa adanya syahwat, lalu dia punya anggapan wudlu’nya tidak batal dengan alasan mengikuti pendapat imam Malik, kemudian dia pun melakukan shalat. Maka shalat yang ia lakukan hukumnya batal lantaran dalam wudlu’nya terdapat talfiq. Dalam arti, jika mengikuti madzhab Syafi’iyyah, wudlunya sudah batal karena menyentuh perempuan yang bukan mahramnya. Sedangkan, jika mengikuti madzhab Malikiyyah wudlu’nya tidak sah karena tidak melakukan al-dalku atau menggosok .

- Kedua: Seseorang bertaqlid kepada madzhab Syafi`iyyah dengan cukup mengusap sebagian kepala dalam berwudlu, kemudian bertaqlid kepada madzhab Hanafiyyah atau madzhab Malikiyyah yang berpendapat tidak batalnya wudlu ketika bersentuhan dengan perempuan tanpa adanya syahwat. Maka praktek wudlu seperti ini untuk menunaikan sholat itu tidak pernah di katakan oleh para imam madzhab manapun .

Alhasil kedua contoh di atas tidak dibenarkan menurut syaraiat Islam karena telah keluar dari madzhab empat dan akan berdampak menimbulkan madzhab yang kelima.

Sebagian gambaran talfiq dalam segi aktifitas sosial, yaitu sebagai berikut:

- Pertama: Seorang laki-laki menikahi perempuan dengan tanpa wali dengan alasan mengikuti pendapat imam Abu Hanifah, kemudian praktek nikahnya juga tanpa mengajukan mahar dan tanpa menghadirkan saksi mengikuti pendapat imam Malik. Contoh talfiq seperti ini tidak diperbolehkan karena menimbulkan bahaya dan menyalahi kesepakatan para ulama` .

- Kedua: Membuat undang-undang pernikahan dimana akad nikahnya harus dengan wali dan saksi dengan alasan mengikuti madzhab Syafi'iyyah, akan tetapi mengenai sah jatuhnya thalaq raj'i mengikuti madzhab Hanafiyyah yang berpendapat sah ruju'nya bil fi'li (langsung bersetubuh tanpa ada ucapan ruju’). Contoh talfiq seperti ini juga tidak diperbolehkan dengan alas an seperti di atas karena menimbulkan bahaya dan menyalahi kesepakatan para ulama.

C. Ruang lingkup talfiq

Para ulama` fiqh sepakat bahwa ruang lingkup talfiq ini terbatas pada pada masalah-masalah furu`iyah ijtihadiyah dlonniyyah (cabang-cabang fikih ijtihadi yg masih perkiraan). Adapun pada masalah ushuliyyah (pokok dasar agama) seperti masalah iman atau aqidah itu bukanlah ruang lingkup talfiq . Dikarnakan bertaklid saja dalam masalah ini tidak dibenarkan apalagi bertalfiq. Serta tidak di perbolehkan bertalfiq lagi ketika hasilnya akan menghalalkan sesuatu yang jelas jelas keharamannya dengan adanya nash qoth’i, seperti zina dan minuman keras.

Mengenai hukum-hukum furu`iyah yang menjadi ajang ajang bahasan talfiq di atas, ulama` fiqh telah mengelompokkan menjadi tiga bagian sebagai berikut:

- Pertama: Hukum yang berdasar pada kemudahan dan kelapangan yang berbeda-beda sesuai perbedaan kondisi setiap manusia. Hukum-hukum seperti inilah yang termasuk kemurnian ibadah (ibadah mahdloh), karena dalam masalah ibadah seperti ini tujuannnya adalah kepatuhan dan kepasrahan diri seorang hamba kepada Allah Swt.

- Kedua: Hukum yang didasarkan pada sikap wira’i dan ke-ihtiyatan. Hukum-hukum seperti ini biasanya berkaitan dengan sesuatu yang dilarang Allah Swt karena membuat madlorot. Dalam hukum ini tidak dibenarkan mengambil kemudahan dan bertalfiq kecuali dalam keadaan dlorurot. Misalnya larangan memakan bangkai. Dalam hal ini Rasul bersabda : “Segala sesuatu yang aku larang tinggalkanlah, dan segala yang aku perintahkan kerjakanlah sesuai kemampuanmu”.
- Ketiga: Hukum yang didasarkan pada kemaslahatan dan kebahagiaan bagi manusia. Misalnya, pernikahan, had-had dan transaksi sosial ekonomi.

D. Sudut pandang Ulama tentang talfiq:
Ulama’ berbeda pendapat untuk menyikapi hukum talfiq, dikarenakan tidak ada dalil yang jelas tentang perbolehan atau larangan untuk bertalfiq, sebagian pendapat para ulama adalah sebagai berikut:

a) Syeih Syihab Al-Romly dari golongan Syafi`iyyah berpendapat, ketika Madzhab sudah dibukukan dan ada seseorang berpindah dari satu madzhab ke madzhab yg lain itu diperbolehkan. Dan juga ketika seseorang bertaqlid pada satu mujtahid kemudian dalam beberapa masalahan yg lain dia ikut mujtahid yang lain lagi itu juga diperbolehkan, akan tetapi tidak dengan alasan mengambil rukhsoh .

b) Demikian juga Syeih Abdul Ro`uf Al-Manawy dari golongan Syafi`iyyah juga dalam kitab karangan beliau Syarhu Al-Jami` Al-Shoghir berpendapat, bahwasanya talfiq yg di dalamnya terkandung dua hakikat yg kompleks (murokkab) maka itu tidak diperbolehkan karena menyalahi ijma`.
c) Imam Walidy dari kalangan Hanafiyah berpendapat, bahwasanya seseorang itu tidak berkewajiban mengikuti satu madzhab yang ditentukan, dan diperbolehkan untuk dia mengikuti pendapat imam madzhab lain.
d) Imam Ghozali berpendapat untuk melarang praktek talfiq dengan alasan beliau bahwasanya hal tersebut condong pada pengikutan hawa nafsu, sementara syariat menurut beliau datang untuk mengekang liarnya atau tidak terkontrolnya hawa nafsu. Sehingga setiap perkara yang diperbolehkan seseorang untuk mengikuti pada selain madzhabnya, itu harus dikembalikan kepada syari‘at, bukan kepada hawa nafsu belaka. Beliau menyitir ayat Al-Quran yang berbunyi:
artinya :“Jika kamu berselisih paham tentang suatu perkara, maka kembalikanlah kepada Allah Swt” .
e) Imam `Izzudin bin Abdi Al-Salam menyebutkan bahwa, boleh bagi orang awam mengambil ruhshoh beberapa madzhab (talfiq), karena hal tersebut adalah suatu yang disenangi. Dengan alasan beliau bahwa agama Allah itu mudah (dinu allahi yusrun) serta firman Allah dalam surat al-Hajj ayat 78: “Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam satu agama suatu kesempitan”.

f) Imam Al-Qarafi menambahkan bahwa, praktik talfiq ini bisa dilakukan selama ia tidak menyebabkan batalnya perbuatan tersebut ketika dikonfirmasi terhadap semua pendapat imam madzhab yang diikutinya.

E. Justifikasi dalil Syariah pada hukum Talfiq

Secara umum dalam permasalahan talfiq ini tidak ada dalil shorih yang menunjukkan kebolehan atau pelarangan untuk melakukan talfiq. Adapun pendapat yang mengatakan tidak boleh melakukan talfiq itu bersumber dari apa yg dikatakan oleh ulama` Ushul di dalam ijma` mereka, dimana merekaberanggapan bahwasanya dikhawatirkan akan timbulnya pendapat ketiga setelah terjadi perbedaan pendapat antara dua kelompok madzhab. Maka, menurut mayoritas ulama` berpendapat tidak boleh memunculkan pendapat yang ketiga ini akan menyalahi sesuatu yang sudah menjadi kesepakatan ulama` (Ittifaq). Seperti contoh, Iddah (masa penantian) wanita hamil yg ditinggal mati suaminya, dalam masalah ini ada dua pendapat dimana ulama yang pertama berpendapat untuk menunggu setelah selesai melahirkan, dan yang kedua berpendapat untuk menggunakan waktu yang lebih lama diantara kedua waktu tadi (ab`adu al-ajalain). Maka dalam hal ini tidak boleh memunculkan pendapat yang ketiga yaitu, penantiannya si perempuan tadi hanya satu bulan saja .

Akan tetapi dakwaan terhadap pelarangan terjadinya talfiq itu tidak absolut adanya, karena kalau kita mau melihat dengan seksama, permasalahan talfiq itu sendiri baru dicetuskan oleh para ulama’-ulama’ akhir (Muttakhirun) pada masa masa kemunduran islam. Atau lebih jelasnya masalah talfiq ini tidak di jumpai pada zaman ulama terdahulu (Mutaqoddimun), pada masa Rosulullah Saw dan para sahabat, juga pada masa imam-imam madzhab dan murid muridnya. Pada masa Rosulullah Saw jelas sekali tidak adanya praktek talfiq, karena pada masa itu masa turunnya wahyu dan tidak membutuhkan praktik ijtihad di dalamnya. Begitu juga tidak di jumpainya permasalahan talfiq pada masa Sahabat dan Tabi`in, karena apabila ada seseorang yg menanyakan tentang suatu masalah kepada mereka, mereka memfatwakan dengan tanpa keharusan mengikuti pendapat mereka dan tidak juga melemahkan pendapat mufti yang lain. Demikian juga pada masa imam madzhab empat dan para sahabat ijtihad lainnya, yang tidak melarang pengikutinya tuk beramal pada madzhab yang lain, asalkan di setiap mereka mengambil pendapat dari yang lain dengan disertai pengetahuan perbedaan mereka dalam permasalahan furu`iyyah.

Dari kutipan-kutipan pendapat di atas tadi telah memberikan pemahaman kepada kita bahwasannya tidak adanya dalil yang jelas (shorih) atas kebolehan dan pelarangan talfiq itu sendiri, maka secara tidak langsung akan menunjukan atas kebolehan talfiq tersebut. Sesuai dengan kaidah fiqhiyyah yg berbunyi “ Asal setiap sesuatu itu adalah mubah (boleh)” sampai ada dalil syar`i yang tegas melarangnya . Sebagai mana hadits Rosulullah Saw yang berbunyi ; “Kehalalan ialah sesuatu yang diperbolehkan oleh Allah Swt di dalam kitabnya dan keharaman ialah sesuatu yang dilarang oleh Allah Swt di dalam kitabnya pula, apabila tidak tersebutkan maka dima`fu olehnya dan tidak memberatkan atas kamu” . Dan pelarangan atas talfiq tadi itu juga akan menyebabkan ketidak bolehan taqlid yang semestinya diwajibkan terhadap orang awam yang notabenya sebagai pemula dan memungkiri bahwasannya perbedaan para imam adalah rahmat bagi umat Islam. Demikian pula mengingakari asas-asas syari`at yang diciptakan untuk mempermudah umat manusia dan menghilangkan pembebanan atasnya, karena sesungguhnya agama Allah itu mudah bukan untuk memberatkan umatnya. Sebagaimana Firman Allah Swt dalam surat al Baqoroh ayat 185 yang artinya :“Allah Menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kamu”. Meski ayat di atas menyangkut pada hal kebolehan orang yang berbuka puasa di dalam perjalanan pada waktu bulan Ramadhan, tetapi tujuan umum ayat di atas ialah menyeluruh pada tiap-tiap permasalahan agama.
F. Bentuk Talfiq yang diperbolehkan

Kebolehan talfiq di atas tadi tidak bersifat mutlak adanya, akan tetapi dibatasi oleh ruang lingkup yang telah ditentukan sebagai berikut:
-Pertama: Tidak menimbulkan kebatilan pada hakekat sesuatu tersebut, seperti menghalalkan sesuatu yang sudah jelas jelas keharamannya semisal zina dan minum arak .
- Kedua: Tidak menimbulkan bahaya pada selain hakekat sesuatu itu sendiri, seperti mengambil rukhsoh dengan sengaja, dengan cara mengambil kemudahan pada tiap tiap madzhab dengan tanpa keadaan dlorurot dan udzur, ini berbahaya karena berniat menutup kesusahan dengan cara yang salah dengan melemahkan pembebanan syari`at itu sendiri .

Dan ketentuan kebolehan taklid itu sendiri ialah, ketika memang benar benar membutuhkan dan darurat sekali, serta tidak bermain main atau sengaja mengambil kemudahan dengan tanpa pertimbangan kemaslahatan syari`at. Dan talfiq ini juga terbatas pada sebagian hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah ibadah, mu`amalah dan ijtihadiyah, bukan pada masalah qot`iyyah (yang telah pasti). Sesungguhnya kebenaran tentang kebolehan talfiq dan pelarangannya, dapat ditinjau dari aspek yang ditimbulkannya. Yang pertama, apabila sesuatu tersebut mengahantarkan kepada sesuatu yang menghancurkan harapan dari kemaslahatan syari’ah dan ketetapan atas kebijaksanaan syari’ah itu sendiri, maka hal seperti inilah yang dilarang dan dinilai membahayakan. Dan yang kedua, apabila sesuatu perkara tersebut bersifat membaguskan dan menggunakan kebijaksanaan syari’ah itu sendiri untuk menyenangkan manusia di dua sudut permasalahan dengan kemudahan pelaksanaan ibadah atasnya dan menimbulkan kemaslahatan dalam kehidupan sosial masyarakat, maka hal yang seperti ini yang diperbolehkan.

G. Meneliti dan memilih pendapat yang ringan

Setelah kita membahas banyak tentang talfiq di atas tadi, tak lengkap kiranya kalau kita tidak membahas permasalahan tentang meneliti dan memilih pendapat yang ringan, karena permasalahan ini dengan talfiq seperti mata rantai yang tak mungkin terpisahkan satu sama lain. Sebagaimana yang telah kita bahas di atas, bahwasannya dalam permasalahan talfiq kita tidak diperbolehkan mengambil pendapat yang ringan dengan unsur kesengajaan atau tanpa kedaruratan, karena barang siapa yang mengambil kemudahan dengan cara ini maka dihukumi fasiq, menurut pendapat sebagian ulama`. Akan tetapi menurut pendapat sebagian ulama` yang lain , tidak menghukumi fasiq apabila menjelaskan perbedaan ulama` pada masalah-masalah tersebut .

Sedang menurut Imam Ghozali dan pendapat yang al-Ashoh menurut Malikiyyah dan Hanabilah, yaitu melarang praktek mengambil pendapat yang ringan tersebut di dalam madzhab-madzhab, karena hal tersebut condong pada pengikutan hawa nafsu, sementara syari‘at, menurut beliau datang untuk mengekang liarnya dan tidak terkontrolnya hawa nafsu.

Imam Ibnu Abdu Al-Barr dan Ibnu Hazm berpendapat, tidak diperbolehkan kepada orang awam mengikuti pendapat yang ringan-ringan secara keseluruhan, dikarenakan menyebabkan pemutusan pembebanan disetiap masalah yang diperselisihkan didalamnya.

Sebagian ulama’ Malikiyyah yang dipelopori oleh imam Al-Qorofi dan juga mayoritas ulama` Syafi`iyyah, serta pendapat yg rojih menurut ulama` Hanafiyyah, yaitu berpendapat memperbolehkan mengikuti pendapat yang ringan dari berbagai madzhab. Karena tidak adanya nash yang shorih yang melarang hal tersebut dan juga memberikan jalan kemudahan atas manusia, sebagaimana hadits Nabi yang menyatakan bahwa “Rasulullah tidak pernah disuruh memilih sesuatu kecuali akan memilih yang paling mudah” . Tentang hal kebolehan mengambil pendapat yang mudah ini imam Al-Qarafi mensyaratkan, tidak menyebabkan batalnya perbuatan tersebut ketika dikonfirmasi terhadap semua pendapat imam madzhab yang telah diikutinya.

Sebenarnya qoyyid (catatan) yang telah disebutkan di atas tadi bukan dalil yang diambil dari nash Al-Qur`an maupun ijma` para ulama’, melainkan qoyyid mutaahhir (yang disebutkan di belakang), sebagaimana yang pernah di utarakan imam Ibnu Al-Hammam di dalam kitab Al-Tahrir beliau, ketika diperbolehkannya seseorang berbeda pendapat dengan sebagian mujtahid di setiap pendapat yang dilontarkannya, maka sebagian mujtahid itu pun diperbolehkan berbeda pendapat dengan pendapat seseorang tersebut, dan itu lebih utama.

Dan adapun pendapat dari imam Ibnu Abdi Al-Barr tadi, yang menyatakan bahwasannya tidak diperbolehkannya seorang yang awam mengambil pendapat yang ringan, maka tidak dibenarkan pengambilan pendapat seperti itu tadi, meski selamat maka tidak dibenarkan juga menurut ijma’ dan dihukumi fasiq bagi seseorang yang mengambil pendapat yang mudah di antara salah satu dua riwayat tersebut.
Menanggapi tentang permasalahan di atas, Syeih Muhammad Al-Baghdadi menyebutkan beberapa sebab pelarangan talfiq bagi orang Awam yaitu sebagai berikut ;
- Pertama: Ditakutkan terjadinya sesuatu yang dilarang yang akan menyalahi kesepakatan Ulama’ (ittifaq).
- Kedua: Tidak disahkannya orang awam melakukan taqlid kecuali pendapatnya (fatwa) dari seseorang yang khusus yang ingin diikutinya.

Sedang menurut imam Nawawi dalam kitab Raudloh karangan beliau, mengutarakan bahwasanya hal seperti itu tidak termasuk fasiq. Mengenai ini imam Al-Izzu bin Abdi Al-Salam juga berkomentar, bahwasannya di anjurkannya seorang awam mengambil pendapat yang paling mudah, karena mengambil rukhshoh tersebut disukai, sebagaimana hadits nabi Muhammad Saw yang menyatakan bahwasannya “ Rosulullah Saw menyukai suatu perkara yang memudahkan umatnya”.

H. Penutup

Al-Hamdu lillahi Robbi al-alamin segala puji kami haturkan kembali kepada Allah Swt, karena kami telah menyelesikan makalah yang sederhana ini, meski kami sadar masih banyak kekurangan disana sini, baik dari segi penelurusan masalah dengan dalil dalilnya dan masih minimnya pengetahuan kami tentang maroji`. Tapi `ala kulli hall kami juga sadar bahwa kami adalah manusia biasa yang tak pernah luput dari salah dan dosa. Bila ada kebaikan itu semua berasal dari Allah dan bila ada kesalahan itu datangnya murni dari diri kami pribadi. Semoga ini semua bermanfaat bagi kita semua dan kritik beserta sarannya dari teman-teman sangat kami harapkan.


I. Daftar Pustaka

1- Al-Qur’an Al-Karim dan terjemahannya.
2- Ushul Al-Fiqh Al-Islamy, oleh dr. Wahbah Zuhaily.
3- Kamus kontemporer Al-Ashry.
4- Hulasotu Al-Tahqiq Fi Bayani Hukmi Al-Taqlid Wa Al-Talfiq.
5- Al-Qowa`id Al-Fiqhiyyah, oleh Dr. Abdul aziz Azzam
Baca Selengkapnya...