Minggu, 24 Mei 2009

Imam Syafi'i
Beliau adalah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi' Al-Hasyimi Al-Qurosyi Al-Muttholibi,kunyah beliau adalah Abu Abdillah dan di nisbatkan pada (Syafi' bin Al-Saib) maka beliau di panggil dengan panggilan Al-Syafi'i kemudian nama panggilan ini terkenal sampai-sampai mengalahkan nama asli beliau. Nasab beliau kumpul dengan junjungan Nabi kita Muhammad SAW pada Abdu Manaf bin Qushoyyi.
Al-Syafi'I lahir di Guzzah di negara Syam pada tahun (150 H), sebenarnya Guzzah ini bukanlah tempat nenek moyang beliau akan tetapi saat itu ayah beliau Idris datang ke Guzzah bersama istrinya, dan akhirnya beliau pun meninggal di sini, kemudian lahirlah Al-Syafi'i di kota Guzzah ini. Setelah Al-Syafi'i berumur dua tahun ibu beliau khawatir akan keterasingan nasab beliau, kemudian beliau memutuskan untuk balik ke Makkah Al-Mukarromah tempat nenek moyang beliau. Imam Syafi'i lahir sebagai anak Yatim yang menjalani hidup dalam perawatan ibunya. Setelah Al-syafi'i mulai hidup di Makkah telah tiba untuk beliau masa-masa pendidikan, maka ibu beliau menyerahkan beliau kepada seorang guru supaya di didik tentang Al-Quran Al-Karim hingga akhirnya ibu beliau merasa tidak sanggup untuk membayar biaya pendidikan beliau maka Al-Syafi'i pun disuruh untuk tidak meneruskan pendidikan beliau. Akan tetapi ketika seorang pengajar mengajar anak yang kurang cerdas maka ketika itu Al-Syafii menangkap dengan cepat apa yang telah di ajarkan dari pengajar kemudin ketika pengajar tadi sudah meninggalkan tempatnya maka Al-Syafi'i pun mengajarkan apa yang telah di ajarkan dan yang telah dia hafal kepada anak-anak kecil yang lain, Dan setelah hal ini di ketahui oleh pengajar maka Al-Syafi'I pun di bebaskan dari biaya pendidikan oleh pengajarnya sampai beliau benar benar hafal Al-Qur'an ketika beliau umur tujuh tahun.
Setelah beliau berumur tujuh tahun dan sudah hafal Al-Qur’an beliau memutuskan untuk pergi ke Qobilah (Hudzail) daerah baduwi yang terkenal dengan kefashihannya dimasa itu, dan di sini beliau belajar ilmu lughot dan menghafal kan sya'ir-syair arab.
Setelah beliau merasa cukup dengan ilmu lughotnya maka beliau memutuskan untuk kembali ke Makkah Al-Mukarromah, kemudian beliau belajar ilmu Fiqh kepada mufti Makkah dimasa itu Muslim bin Kholid Al-Zanji, sampai akhirnya beliau diberi izin oleh guru beliau Muslim Al-Zanji untuk berfatwa ketika beliau berumur lima belas tahun.
Karena semangat beliau yang berkobar-kobar untuk menuntut ilmu maka beliau pun memutuskan untuk ke Madinah Al-Munawwaroh dan disini beliau menuntut ilmu kepada Imam Malik yang saat itu menjabat mufti Madinah Al-munawwaroh. Kemudian Al- Syafi'i membacakan Al Muwattho' yang telah beliau hafal dihadapan Imam Malik sampai akhirnya beliau sudah pada tingkatan Rijal, kemudian beliau memutuskan untuk mencari rizqi untuk kecukupan kehidupan beliau hinnga akhirnya beliau dibantu oleh Abdullah bin Al-Qurosyi mufti Yaman untuk mendapatkan pekerjaan.
Telah dirawatkan dari Al-Syafi'i bahwa beliau berkata " Aku mengalami kepailitan tiga kali, sampai-sampai aku telah menjual sedikit dan banyak dari apa yang telah aku miliki hingga perhiasan anak dan istriku ………."
Al-Syafi'i menikah dengan (Khamidah) binti Nafi' bin 'Ansah bin Amr bin Utsman bin Affan dan akhirnya beliau mempunyai anak Muhammad (menjabat Qodli dikota Madinah), Khalab, Fathimah dan Zainab.

Sanjungan para Ulama' kepada imam Syafi'i
Imam Syafi'i telah menempati tempat yang tinggi dalam bidang Fiqh dan beberapa ilmu yang lain, hingga banyak ulama' yang menyanjung beliau:
Sanjungan Imam Ahmad bin Hanbal atas Al-Syafi'i:
- Imam Ahmad bin Hanbal ketika di tanya oleh anak beliau kenapa sering kali menyanjung Imam Al-Syafi'i dan beliau pun menjawab " Al-Syafi'i untuk manusia itu bagaikan kesehatan untuk badan manusia, dan bagaikan matahari untuk dunia, maka pikirkanlah apakah kedua hal ini ada penggantinya?"
- Imam Ahmad berkata " Aku tidak mengetahui tentang yang menasih hadits dari mansuhnya sampai aku belajar pada Al-Syafi'i"
- Beliau berkata juga " Tidak ada seorangpun dari orang yang memiliki tinta dan kertas kecuali Al-Syafi'i memiliki ……….."
- Yahya bin Sa'd Al-Qotthon berkata " Aku tidak mengetahui yang lebih pandai dan cerdas dari Al-Syafi'I, dan aku slalu berdoa kepada Allah yang aku khususkan kepada beliau seorang didalam setiap sholat".
- Abdur Rahman bin Mahdi berkata " Ketika aku melihat (Al-Risalah) milik Al-Syafi'i yang telah mengherankan diriku, maka aku telah melihat perkataan dari seseorang yang cerdas dan fasih dan juga tulus hatinya, maka kemudian aku memperbanyak doa untuknya".
- Dan beliau berkata juga " Aku tidak akan sholat kecuali aku berdoa untuk Al-Syafi'i didalam sholat ini"

Guru-Guru Imam Imam Syafi'i
Imam Syafi'i telah menimba ilmu dari banyak ulama' besar, baik yang berada di Makkah Al-Mukarromah, Madinah Al-Munawwaronh, Yaman dan Iraq.
Guru-guru beliau yang dari Makkah Al-Mukarromah adalah sebagai berikut:
- Muslim bin Kholid Al-Qurosyiyyi Al-Zanji Imam penduduk Makkah, beliau asalnya dari Syam beliau mempunyai laqob Al-Zanji (kulit hitam atau negro) karena warna kulit beliau yang terlalu putih sampai kelihatan kemerah-merahan. Imam Al-Syafi'I menuntut ilmu pada beliau sebelum menuntut ilmu pada Imam Malik, beliau wafat pada tahun (179 H).
- Sufyan bin Uyainah bin Maimun Al-Hilali pakar hadits kota Makkah. Beliau adalah seorang yang buta, dan beliau telah haji tujuhpuluh kali, wafat pada tahun (198 H). Imam Syafi'I berkata " Jika tidak ada Malik dan Sufyan maka ilmu di Hijaz telah hilang".
- Sa'd bin Salim Al-Qodakh.
- Dawud bin Abdur Rohman Al-'Atthor.
- Abdul Hamid bin Abdul Aziz bin Abu Zuwad.

Guru-guru beliau yang dari Madinah Al-Munawwaroh adalah sebagai berikut:
- Imam Malik bin Anas bin Malik imamnya kota hijroh, wafat pada tahun (197 H).
- Ibrohim bin Sa'd Al-Anshori.
- Abdul Aziz bin Muhammad Al-Darowardi.
- Ibrohim bin Abu Yahya Al-Asami.
- Muhammad bin Sa'id bin Abu Fadik.
- Abdullah bin Nafi' Al-Shoigh.

Guru-guru beliau yang dari Yaman adalah sebagai berikut:
- Mathrof bin Mazin.
- Hisyam bin Yusuf Abu Abdir Rohman beliau adalah Qodli Sana'a, wafat pada tahun (197 H).
- Amr bin Abu Salamah (murid dari imam Al-Auza'i)
- Yahya bin Hassan (murid dari Imam Laits bin Sa'd)

Guru-guru beliau yang dari Iraq adalah sebagai berikut:
- Waki' bin Al-Jarokh bin Malikh Abu Sufyan pakar hadits kota Iraq dimasanya, wafat pada tahun (197 H).
- Khamad bin Usamah Al-Kufi Abu Usamah, wafat pada tahun (201 H).
- Isma'il bin Aliyyah Al-Bashri.
- Abdul Wahhab bin Abdul Majid Al-Bashri.
- Muhammad bin Al-Khasan Al-Syaibani (murid Imam Abu Hanifah).

Mereka semua adalah para guru-guru Imam Al-Syafi'I yang masyhur didalam ilmu Fiqh dan Fatwa, dari sini kita bisa ketahui bahwa Imam Syafi'I telah mengambil Fiqh dari banyak madzhab yang ada dimasa beliau, telah diketahui bahwa beliau mengambil fiqh Imam Malik, Fiqh Imam Al-Auza'i dari muridnya Amr bin Salamah, fiqh Imam Laits dari muridnya Yahya bin Hassan, dan juga mengambil Fiqh Imam Abu Hanifah dari muridnya Muhammad bin Al-Hassan. Maka dari ini semua terkumpulah pada diri imam Syafi'i Fiqh Makkah, Madinah, Iraq dan Mesir.
Dan Imam Syafi'I mempelajari fiqh dari beberapa madzhab ini dengan cara mengkritisi ,menyelidiki dan mencari pemahaman bukan dengan mencela dan menjadi pengikut. Maka setelah mempelajari ini semua imam Syafi'I mengambil apa yang harus di ambil menurut pemikiran beliau dan menolak apa yang harus ditolak menurut pemikiran beliau juga dengan dasar Al-Quran Al-Karim, Hadits, menjaga kemaslahatan dan mencegah kemafsadahan.

Murid-murid Imam Syafi'i:
Imam Syafi'I mempunyai beberapa murid yang telah mengambil fiqh dari beliau pada setiap periode dari tiga periode, yaitu di Makkah, Bagdad dan Mesir. Maka Imam Syafi'I mempunyai murid-murid yang telah bertemu beliau ketika di Makkah, juga murid yang telah bertemu beliau di Bagdad untuk kedua kalinya dan juga murid yang bertemu beliau pada akhir masa beliau di negara Mesir.

Murid-Murid Imam Syafi'I di Makkah Al-Mukarromah adalah sebagai berikut:
- Abu Bakar Abdullah bin Zubair Al-Asadi Al-Makky Al-Khamidy, beliau ini ikut pergi bersama imam Syafi'i dari Makkah Al-Mukarromah menuju ke Bagdad dan dari Bagdad menuju ke Mesir, dan beliau menetapi imam Syafi'i sampai imam Syafi'I wafat, kemudian beliau kembali ke Makkah Al-Mukarromah dan berfatwa untuk ahli Makkah sampai beliau wafat pada tahun ( 219 H) dan ada yang mengatakan pada tahun (220 H).
- Abu Al-Walid Musa bin Abu Al-Jarwud.
- Abu Ishaq Ibrohim bin Muhammad Al-Abbasi, wafat di Makkah Al-Mukarromah pada tahun (237 H).

Murid-Murid Imam Syafi'i di Bagdad Iraq adalah sebagai berikut:
- Abu Tsaur Al-Kalabi Ibrohim bin Kholid Al-Bagdadi wafat pada tahun (240 H) .
- Abu Ali Al-Khusain bin Ali Al-Karobisy, dipanggil dengan sebutan Al-Karobisy karena beliau adalah penjual Karobis (pakaian tebal), wafat pada tahun (245 H) dan ada yang mengatakan (256 H) .
- Abu Ali Al-Khusain bin Muhammad bin Al-Khusain Al-Za'farony dinisbatkan pada (Za'faronah) suatu desa dekat dengan kota Bagdad, wafat pada tahun (260 H) dan ada yang mengatakan (249 H) .

Murid-murid Imam Syafi'I di Mesir adalah sebagai berikut:
- Kharmalah bin Yahya bin Abdullah bin Kharmalah Al-Misry, wafat pada tahun (243 H) dan ada yang mengatakan (244 H) .
- Abu Ya'qub Yusuf bin Yahya Al-Qurosyy Al-Buwaithy, dinisbatkan pada (Buthi) sebuah desa didataran tinggi negara Mesir.Beliau ini adalah termasuk sebagian dari pembesar Ashhab Al-Syafi'i dan menjadi pengganti Imam Syafi'I setelah beliau wafat.
Imam Syafi’i berkata tentang Al-Buwaithy “ Tidak ada seorangpun yang lebih berhak dengan kedudukanku dibanding Abi Ya’qub, tidak ada seorang pun dari ashhabku yang lebih pandai daripada dia”. Beliau wafat dalam penjara pada tahun (232 H) dan ada yang mengatakan (231 H) .
- Abu Ibrohim Isma’il bin Yahya Al-Muzany Al-Mishry. Imam Syafi’i berkata tentang beliau “ Ketika dia melihat syetan dia akan mengalahkanya”, beliau wafat pada tahun (264 H) dan dimakamkan dekat dengan makam imam Syafi’i .
- Al-Robi’ bin Sulaiman bin Abdul Jabbar Al-Murody, seorang muadzin masjid Jami’ Mesir dan juga menjadi khodim Imam Syafi’i. Imam Syafi’i berkata “ Sesungguhnya dia itu paling kuat hafalanya diantara Ashabku, manusia dari beberapa penjuru bumi pergi menuju dia untuk mengambil ilmu Al-Syafi’i dan riwayat kitabnya”. Ketika diucapkan Al-Robi’ dalam kitab-kitab Al-Syafi’iyyah maka yang diharapkan adalah Al-Robi’ Al-Murody, wafat pada tahun (270 H) .
- Al-Robi’ bin Sulaiman bin Dawud Al-Jizy dinisbatkan dari (Jizah), beliau sedikit meriwayatkan dari imam Syafi’i, wafat pada tahun (256 H) .

Sebagian orang yang menimba ilmu dari imam Syafi’i dan tidak menjadi pengikut madzhab beliau adalah Imam Ahmad bin hanbal.

Kepercayaan pada Allah SWT, beragama dan Tawadlu’nya Imam Syafi’i
Para Ulama’ menyebutkan bahwasanya Imam Syafi’I ketika datang ke Mesir menghadaplah kepada beliau Al-Robi’ Al-Murody dan memberi nasihat supaya beliau dapat kedudukan dihadapan Hakim dan beliau akan kelihatan mulia dihadapan manusia, dan menyimpan makanan untuk setahun didalam rumahnya. Tapi Imam Syafi’I pun menolak sambil berkata “ Hai Robi’ seseorang yang dirinya tidak di agungkan pleh ketaqwaan maka tidak ada keagungan untuknya, Aku telah dilahirkan di Guzzah dan aku dirawat di Hijaz dan aku tidak mempunyai makanan pada waktu malam………………..
Perkataan ini menunjukan atas kepercayaan beliau yang mutlak pada Allah SWT, dan diriwayatkan bahwasanya beliau berkata “ Ketika aku tidak melihat seseorang, maka aku suka ketika dia salah, tidak ada dalam hatiku dari ilmu kecuali aku bimbang bahwa ketika dia dihadapan setiap orang dan tidak menisbatkan kepada diriku.”

Fiqh Imam Syafi’i
Imam Syafi’I tidak mengarah pada pembuatan madzhab yang independen atau ikut beberapa pendapat fiqh yang independen dari beberapa pendapat Imam malik, sampai akhirnya ketika beliau pergi menuju Bagdad untuk yang pertama kalinya beliau menerima itu semua, dan dimasa itu beliau di anggap dari Ashab Imam Malik yang selalu menjaga beberapa pendapat beliau dan melawan mereka para Ahli Al-Ro’yu untuk menjaga Fiqh Madinah, hingga beliau di sebut dengan sebutan Nashiru Al-Hadits (Penyelamat Hadits).
Dan setelah cukup lama beliau menetap di Bagdad, kemudian beliau memutuskan untuk mempelajari kitab-kitabnya Muhammad bin Al-Hassan murid dari imam Abu Hanifah, kemudian beliau mendebat dan mengkritik para Ahlu Al-Ro’yi, setelah ini semua maka beliau merasa bahwasanya beliau harus keluar untuk para manusia dengan kompisisi atau campuran dari fiqh Ahli Iraq dan fiqh ahli madinah. dan beliau pun mengarah pada mempelajari pendapat-pendapat Imam Malik dengan pelajaran pengkritikan dan penyelidikan bukan pelajaran kefanatikan dan penyelamatan, dan mungkin perdebatan dari pendapat Imam Malik dan ketika mengalahkan kefanatikan maka akan menunjukan beberapa kekurangan. Seperti terjadinya beberapa keunggulan dan kekurangan fiqh ahli Iraq menurut pandangan beliau dalam pengkritikan dan pembelajaran beliau maka saat ini diharuskan ada pemikiran dan pengarahan penbaharuan. Maka sesungguhnya munaqosyah dalam furu’ dah pengarahanya pada mengetahui Ushulnya dan membahas batas-batas dan ukuran maka Syafi’i pun keluar dari Bagdad dan mencetuskan garis-garis pembaharuan.

Pembagaian masa imam Syafi’I dalam pembuatan pendapat-pendapat beliau dalam tiga masa:
- Di Makkah Al-Mukarromah.
- Di Madinah Al-Munawwaroh.
- Di Mesir.
Dan pada setiap masa ini munculah murid-murid Imam Syafi’I yang belajar dari beliau dan mensyiarkan madzhab beliau di masanya.
Imam Syaf’I menetap di kota Makkah Al-Mukarromah setelah beliau dari Bagdad yang pertama dalam jangka sekitar sembilan tahun. Dan disini beliau merasa paling semangat di masa-masa penuntutan ilmu, dikarnakan di masa ini beliau banyak memperhatikan beberapa pendapat para ulama’-ulama’ besar dimasa itu.


Beberapa Istilah Fiqh khusus dalam Madzhab Syafi’iyah

Imam Syafi’I menggunakan lafadz (Fardlu) untuk makna sesuatu yang wajib atau yang diharuskan untuk melaksanakanya. Seperti juga beliau menggunakan kata (Muharrom atau Harom) untuk sesuatu yang harus ditinggalkan dan pada sesuatu yang menjadi kebalikan Fadlu.
Beliau menggunakan kata (Karohah) untuk arti sesuatu yang dianggap bagus untuk dilaksanakan semisal : diriwayatkan bahwasanya sesungguhnya nabi Muhammad SAW berkata “ Bumi itu masjid kecuali kuburan dan toilet ” disini Imam Syafi’i memberi illat bahwasanya sesungguhnya kuburan dan toilet itu tidak suci, kemudian berkata kuburan adalah tempat yang dibuat mengubur masyarakat umum, ini seperti pasir yang bercampur dengan para mayat. Adapun (shohro’) sahara atau padang pasir yang tidak pernah dibuat mengubur sama sekali kemudian dibuat mengubur suatu kaum yang telah mati kemudian tidak menggerakkan kuburan tadi maka ketika ada seseorang sholat pada kuburan tadi atau pada atasnya maka Imam Syafi’I menghukumi makruh dan tidak menyuruh untuk mengulang sholatnya dikarnakan diketahui bahwa pasir itu suci dan tidak bercampur dengan sesuatu apapun” .

Seperti beliau juga menggunakan kata (Uhibbu) untuk arti sesuatu yang bagus untuk dilaksanakan, akan tetapi tidak sampai tahap wajib, semisal perkataan Imam Syafi’i tentang pelepasan anjing atau burung yang sudah jinak, Imam Syafi’i berkata “ketika seorang lelaki muslim melepas anjing atau burungnya yang sudah jinak aku menyukai untuk dia membaca basmalah, maka ketika dia lupa tidak membaca basmalah kemudian anjing atau burung tadi membunuh buruannya maka untuk dia boleh memakanya dikarenakan orang muslim yang menyembelih itu atas nama Allah SWT meskipun dia lupa” .
Dan Imam Syafi’i berkata “Dan aku menyukai pada sembelihan supaya menghadap kearah qiblat ketika hal itu memungkinkan, dan ketika penyembelih tidak melaksanakannya, maka dia telah meninggalkan sesuatu yang aku menyukainya dan itu tidak mengharamkan pada yang disembelih”. Al-Robi’ meriwayatkan “ Aku bertanya kepada Al-Syafi’i; Apakah anda membaca Ummul Qu’an dibelakang imam pada rokaat akhir secara pelan? Maka Imam Syafi’I menjawab: Aku suka itu dan tidak mewajibkan atas hal itu” .
Dan kata (Akrohu) menurut Imam Syafi’I yang telah diterangkan di atas kadang juga menggunakan istilah (Lam Uhibbu) .
Imam Syafi’I menggunakan istilah (La Ba’sa) untuk sesuatu yang diperbolehkan tanpa kemakruhan dan kesunatan. Semisal imam syafi’i berkata tentang zakat fitri “ Tidak apa ketika melaksanakan zakat fitrah dan mengambilnya ketika dibutuhkan dan selainnya dari shodaqoh yang diwajibkan dan yang lainya” . Dan beliau berkata “ seseorang yang menjual barang dari beberapa barangnya sampai pada masa dari beberapa masanya, dan pembeli telah menerimanya maka tidak apa ketika dia menjualnya pada orang yang membelinya dengan harga yang lebih rendah atau lebih tinggi, baik dengan hutang atau kontan dikarenakan barang yang di jual itu bukanlah barang yang telah di jual pertama kali” .
Seperti juga beliau menggunakan kata (Ja’iz) untuk arti boleh tanpa ada kemakruhan atau kesunatan .
Seperti beliau juga menggunakan istilah (La Khoiro fihi) untuk sesuatu yang diharamkan dalam artian tidak di perbolehkan .

Dasar-dasar dalil fiqh pada madzhab Syafi’iyyah
Sebenarnya dasar-dasar dalil syar’i yang di buat sandaran Imam Syafi’I itu terbatas pada empat:
- Al-Qur’an Al-Karim
- Al-Sunnah Al-Nabawiyyah
- Ijma’ Ulama’
- Qiyas
Dan telah tersebar madzhab Syafi’iyyah pada Negara Hijaz, Iraq, Mesir, Syam dan yang lainya. Dan Imam Syafi’I sendiri yang menyebarkannya pada Negara Hijaz, Iraq, Mesir dengan mengajarkannya dan menyebarkan kitab-kitab karangan beliau dan setelah itu para murid beliau lah yang bertanggung jawab setelah beliau wafat dengan mengajarkan kepada para pengikutnya.

Istilah-istilah nama atau sebutan dalam madzhab Syafi’iyyah
- (Al-Imam) yang diharapkan adalah Imam Al-Haromain Al-Juwainy. Beliau adalah Abdul Malik bin Abdillah bin Yusuf pengarang kitab Al-Nihayah, Al-Burhan dan yang lainnya, wafat pada tahun (478 H) .
- (Al-Qodli) yang di harapkan adalah Al-Qodli Husain Abu Ali Muhammad bin Ahmad Al-Marwazy, sebagian dari karangannya adalah kitab Syarkhu Talkhisi ibni Al-Qodli dan kitab Syarkhun ‘Ala Furu’i ibni Al-Khaddad, wafat pada tahun (462 H) .
- (Al-Qodliyani) yang di harapkan adalah:
1- Ali bin Muhammad bin Habib Al-Mawardy pengarang kitab Al-Khawy dan kitab Al-Ahkam Al-Shulthoniyyah dan yang lainya, wafat pada tahun (450 H) .
2 – Abdul Wahid bin Isma’il bin Ahmad Al-Ruyany, wafat pada tahun (501 H) .
- (Al-Syaikhoni) yang di harapkan adalah:
1- Abdul Karim Muhammad bin Abdul Karim Al-Rofi’i Abu Al-Qosim Al-Quzwainy pengarang kitab Al-Aziz Syarkhu Al-Wajiz, wafat pada tahun (634 H) .
2- Yahya bin Syarof Abu Zakariyya Al-Nawawi, beliau memiliki banyak karangan yang di antaranya adalah kitab Al-Roudloh, Syarhu Muslim dan Al-Tahqiq, wafat pada tahun (677 H) umur beliau sekitar empat puluh lima tahun .
- (Al-Syuyuh) yang diharapkan adalah Imam Nawawi, Imam Rofi’I dan Imam Al-Shubki yaitu Taqiyyuddin Ali bin Abdul Kafi Al-Shubki Syaihul Islam di masanya, wafat pada tahun (756 H) .
- (Al-Syarih) ketika di ucapkan menggunakan Al (Al-Syarih) atau (Al-Syarih Al-Muhaqqiq) maka yang di harapkan adalah Jalaluddin Al-Makhally Muhammad bin Ahmad bin Ibrohim yang mensyarahi kitab Al-Minhaj karangan imam Nawawi, dan beliau juga mempunyai beberapa karangan yang sangat bermanfaat, wafat pada tahun (874 H).
Akan tetapi dalam kitab (Syarkhu Al-Irsyad) kitab karangan Al-Maziyyi, ketika di ucapkan (Al-Syarih) maka yang di harapkan adalah Al-Jaujary beliau adalah Muhammad bin Abdul Mun’im Al-Qohiry Syamsuddin, sebagian dari peninggalan beliau adalah Syarhu Al-Irsyad, Tashilu Al-Masalik Ila Umdati Al-Salik Li Ibni Al-Naqib, wafat pada tahun (889 H).
- (Syarih) ketika diucapkan istilah Syarih tanpa menggunakn Al maka yang diharapkan adalah salah satu dari pensyarah untuk kitab manapun yang ada, ini tidak ada bedanya baik yang ada pada kitab (Tuhfatu Al-Muhtaj) atau yang lainnya, berbeda pendapat dengan orang yang megatakan bahwasanya yang di harapkan adalah -Syuhbah-.
- (Syaihuna, Al-Syaih atau Syaihu Al-Islam) yang diharapkan adalah Zakariyya bin Muhammad bin Ahmad Al-Anshory beliau mempunyai beberapa karangan yang menunjukkan keutamaannya, wafat pada tahun (926 H) .
- (Syaihi) ketika yang mengucapkan istilah ini adalah Al-Khotib Al-Syirbini maka yang di harapkan adalah Al-Syihab Ahmad bin Ahmad Al-Romly, wafat pada tahun (971 H). Ini adalah yang di harapkan Al-jamal Al-Romli dengan ucapan “ Orang tuaku telah berifta’ dengan ini dan sebagainya” .
- ketika Imam Al-Syairozi dalam kitab (Al-Muhaddzab) menggunakan istilah (Abu Al-Abbas) maka yang di harapkan adalah Ahmad bin Suraij Al-Bagdady Syaihu Al-Syafi’iyyah di masanya, wafat di Bagdad pada tahun (306 H) umur beliau limapuluh tahun lebih enam bulan . Dan ketika Al-Syairozi mengharapkan Abu Al-Abbas bin Al-Qodli maka beliau akan memberi catatan tersendiri.
Ketika menggunakan istilah (Ibnu Al-Qosh) maka yang di harapkan adalah Ahmad Al-Thobary beliau belajar fiqh dari Ibnu Suraij, wafat pada tahun (335 H). Al-Qosh adalah seseorang yang menganjurkan untuk menyebutkan beberapa kisah.
Ketika Imam Al-Syairozi menggunakan istilah (Abu Ishaq) dalam kitab Al-Muhaddzab maka yang di harapkan adalah Al-Marwazy Ibrohim bin Ahmad murid dari Ibnu Suraij, wafat pada tahun (340 H) , imam Nawawi berkata “ Imam Syairozi tidak menyebutkan Abu Ishaq Al-Isfiroyiny dalam kitab Al-Muhaddzab “.
Ketika Imam Syairozi menggunakan istilah (Abu Sa’id) dalam kitab Al-Muhaddzab maka yang di harapkan adalah Al-Isthohry Abu Sa’id Al-Hasan bin Ahmad, wafat pada tahun (328 H), beliau dan Ibnu Suraij adalah Syaihu Al-Syafi’iyyah di negara Bagdad .
Imam Nawawi berkata “ imam Al-Syairozi tidak menyebutkan Abu Sa’id dari ahli fiqh selain beliau”.
- (Abu Hamid) istilah ini di gunakan dalam kitab Al-Muhaddzab untuk dua orang :
1- Al-Qodli Abu Hamid Al-Marwazy Ahmad bin Basyar bin Amir, wafat pada tahun (362 H).
2- Syeih Abu Hamid Al-Isfiroyiny Ahmad bin Muhammad, wafat pada tahun (406 H).
Imam Nawawi berkata setelah menyebut beliau berdua “…akan tetapi beliau berdua di sebut dengan catatan Al-Qodli dan Al-Syaih maka tidak akan ada keserupaan, pada kitab Muhaddzab tidak ada Abu Hamid selain beliau berdua tidak dari Ashab kita dan tidak dari yang lainnya”.
- (Abu Al-Qosim) di gunakan dalam kitab Al-Muhaddzab dan yang di harapkan adalah empat Imam yaitu: Al-Anmathy, Al-Daroky, Ibnu Kajjin dan Al-shoimary. Tidak di temukan dalam kitab Al-Muhaddzab istilah Abu Al-Qoshim selain beliau empat ini.
- (Abu Al-Thoyyib) dalam kitab Al-Muhaddzab yang di harapkan adalah dua imam dari ahli fiqh Syafi’iyyah yaitu: Ibnu Salamah dan Al-Qodli Abu Al-Thoyyib guru dari imam Syairozi. Dan beliau berdua ini di sebut dengan di sifati .
- Ketika dalam kitab Al-Muhaddzab menyebutkan istilah (Al-Robi’ min Ashabina) maka yang di harapkan adalah Al-Robi’ bin Sulaiman Al-Murody murid dari Imam Syafi’I, di dalam kitab Al-Muhaddzab tidak ada Al-Robi’ selain beliau, tidak dari kalangan fuqoha’ atau yang lain kecuali pada masalah penyamakan kulit apakah bulunya suci? Ini yang di harapkan adalah Al-Robi’ bin Sulaiman Al-Jiyi.
- Imam Nawawi berkata “ ketika aku mengucapkan kata (Ana) pada Al-Syarhu, Dzikri dan Al-Qoffal maka yang aku maksud adalah Al-Marwazy, dikarnakan beliau yang paling masyhur pada pemindahan (naqlu) madzhab………….Adapun Al-Syasyi penyebutan beliau sedikit kalau di banding Al-Marwazy di dalam madzhab. Maka ketika yang aku harapkan adalah Al-syasi maka aku akan memberi catatan.
- (Al-Muhammadun Al-Arbaah) beliau adalah:
1- Muhammad bin Nashr Abu Abdillah Al-Marwazy, wafat pada tahun (294 H).
2- Muhammad bin Ibrohim bin Al-Mundzir, wafat pada tahun (309 H) atau (310 H).
3- Muhammad bin Jarir Al-Thobary, wafat pada tahun (310 H).
4- Muhammad bin Ishaq bin Khozimah, wafat pada tahun (311 H).
Beliau empat ini telah sampai pada tingkatan mujtahid mutlaq, beliau meskipun keluar dari pendapat Imam Syafi’i dalam beberapa masalah tapi secara keseluruhan beliau-beliau ini tidak keluar dari pendapat Imam Syafi’i secara keseluruhan, maka beliau-beliau ini tetap di anggap sebagai Syafi’iyyah dan dari ushul mereka dikeluarkan.
- (Al-Ashab) yang di harapkan adalah beliau-beliau para pendahulu Syafi’iyyah, beliau adalah para Ashabul Aujuh secara keseluruhan, kalau di batasi dengan hitungan masa, beliau ini adalah para Syafi’iyyah yang muncul dari empat ratusan, dan untuk beliau di gunakan istilah Al-Mutaqoddimun karma dekatnya beliau dengan qurun waktu yang di saksikan dengan keberhasilan.
(Tanbih)
Perkataan Imam Al-Rozi dengan kata (Al-Ashab) ini membingungkan, karma kami tidak mengetahui apa yang di harapkan dari Imam Al-Rozi, apakah beliau mengharapkan Al-Syafi’iyyah atau Asya’iroh? Ini di karenakan Imam Al-Rozi sendiri adalah pengikut Syafi’iyyah juga pengikut Asya’iroh. Maka semua ini tidak akan menjadi jelas kecuali ketika Imam Al-Rozi menjelaskan apa yang di harapkan di dalam kitab beliau, atau beliau berpendapat pada masalah fiqh murni maka bisa di ketahui bahwa yang beliau harapkan adalah Al-Syafi’iiyah atau pada masalah aqidah murni maka yang di maksud adalah Asya’iroh. Adapun ketika masalahnya adalah masalah fiqh yang ada sangkut paut dengan ilmu kalam akan susah untuk menentukannya.
- (Al-Mutaahhirun) yang di harapkan adalah mereka para ulama’ Syafi’iyyah setelah qurun keempat, atau bisa di katakan mereka adalah para ulama’ Syafi’iyyah yang datang setelah Imam Nawawi dan Imam Rofi’i.
Kitab-kitab yang di bukukan dalam madzhab Syafi’iyyah

Para ulama’ telah sepakat bahwa kitab-kitab yang dikarang oleh imam Syafi’i dalam ilmu Fiqh itu ada empat kitab : Al-Umm, Al-Imla’, Muhtashoru Al-Buwaity dan Muhtashoru Al-Muzanny. Dan yang di harapkan disini adalah bahwasanya kitab-kitab yang di tulis oleh imam Al-Buwaity dan imam Al-Muzanni dinisbatkan kepada imam Syafi’i tetapi cuma dalam maknanya saja.

Kemudian kitab empat ini di ringkas oleh imam Al-Haromain Al-Juwainy pada karangan beliau yang diberi nama Al-Nihayah , keterangan yang kita sampaikan ini cocok dengan apa yang telah di jelaskan oleh ulama’ mutaahhirun. Akan tetapi kalau kita mengambil pendapatnya Al-Babily dan Ibnu Hajar beliau mengatakan bahwasanya kitab Al-Nihayah adalah Syarah dari kitab Muhtashoru Al-Muzanny dan kitab ini adalah kitab ringaksan dari kitab Al-Umm.
Kemudian setelah itu datanglah imam Al-Ghozaly dengan kitab beliau Al-Bashit, dimana kitab ini adalah ringkasan dari kitab Al-Nihayah, setelah itu beliau meringkas kitab Al-Bashit menjadi kitab Al-Wasith kemudian Al-Wasith di ringkas lagi oleh beliau menjadi kitab Al-Wajiz , dan sampai akhirnya kitab Al-Wajiz di ringkas oleh beliau menjadi Al-Khulashoh.
Setelah itu datanglah imam Al-Rofi’i yang meringkas kitab karangan imam Ghozali yang Al-Wajiz dalam kitab beliau yang diberi nama Al-Mukharror, akan tetapi ada keterangan sedikit di kitab Al-Tuhfah yang menjelaskan bahwasanya kitab Al-Muharror disebut Muhtashor (ringkasan) itu disebabkan sedikit lafadlnya (ringkas), bukan karna ini ringkasan dari Al-Wajiz.
Setelah itu imam Nawawy meringkas kitab Al-Muharror pada kitab beliau yang diberi nama Al-Minhaj, kemudian kitab Al-Minhaj ini di ringkas oleh imam Zakariyya Al-Anshory menjadi kitab Al-Manhaj. Kitab Al-Manhaj pun diringkas oleh imam Al-Jauhri menjadi kitab Al-Nahj.

Selain imam Rofi’i membuat ringkasan dari kitab Al-Wajiz beliau juga mengarang syarah dari kitab Al-Wajiz menjadi dua kitab, yang satu kitabnya agak kecil dan beliau tidak memberi nama pada kitab ini dan yang satunya agak besar yang beliau beri nama Al-Aziz.
Dari kitab Al-aziz ini imam Nawawi meringkasnya menjadi kitab Al-Roudloh, kemudian kitab Al-Roudloh diringkas oleh imam Ibnu Muqri menjadi kitab Al-Roudl, kemudian kitab Al-Roudl ini di syarahi oleh imam Zakariyya Al-Anshori dalam kitab beliau yang diberi nama Al-Asna.

Selain kitab Al-Roudl di syarahi oleh imam Zakariyya Al-Anshori kitab ini juga di ringkas oleh imam Ibnu Hajar yang diberi nama Al-Na’im. kitab ini sangat bagus sekali akan tetapi keberadaan kitab ini sudah tidak muncul di masa imam Ibnu Hajar masih hidup.

Kitab Al-Roudloh karangan imam Nawawi juga di ringkas oleh imam Ahmad bin Umar Al-Muzajjad Al-Zabidy yang diberi nama Al-Ubab, kemudian kitab ini di syarahi oleh imam Ibnu Hajar dalam kitabnya Al-I’ab, akan tetapi kitab Al-I’ab ini belum sampai selesai.

Kitab Al-Roudloh selain diringkas menjadi Al-Ubab juga di ringkas oleh imam Al-Suyuti menjadi kitab Al-Ghoniyyah, beliau juga membuat nadlomanya yang beliau beri nama Al-Khulashoh akan tetapi kitab nadloman ini belum sampai selesai.

Imam Al-Quzwainy juga mengarang ringkasan dari kitab Al-Aziz yang beliau beri nama Al-Khawi Al-Shoghir, kemudian kitab ini dinadlomkan oleh imam Al-Wardy dalam kitab Buhjahnya. Kemudian kitab nadloman Al-Buhjah disyarahi oleh imam Zakariyya Al-Anshori dengan dua kitab syarah.

Setelah itu Ibnu Al-Muqri membuat kitab ringkasan dari Al-Khawi Al-Shoghir menjadi kitab Al-Irsyad, dan kitab ini kemudian disyarahi oleh imam Ibnu Hajar dengan dua kitab syarah.

Imam Ibnu Hajar berkata “Setelah imam Nawawi membuat karangan Al-Roudloh “Datanglah beberapa ulama’ mutaahhirun (Ulama setelah kurun imam Nawawi) dan mereka berbeda-beda tujuan atas kitab-kitab yang telah ada, sebagian ada yang membuat karangan khasiyah (catatan pinggir) dan banyak ulama yang mempunyai gaya seperti ini, dan karangannya pun menjadi karangan yang besar-besar seperti contoh khasyiyahnya imam Al-Adzro’i yang beliau kasih nama Al-Mutawassit Baina Al-Roudloh wa Al-Syarhi, kitab ini berjumlah lebih dari tiga puluh kitab. Begitu juga imam Al-Asnawy, imam Ibnu Al-‘Ammad dan imam Al-Bulqiny beliau-beliau ini adalah para jagoan dari ulama’ mutaahhirin dengan tempatnya yang berkilau.

Setelah kurun ini datanglah imam Al-Zarkasyi, beliau adalah murid dari imam empat diatas (imam Al-Adzro’i, imam Al-Asnawy, imam Ibnu Al-‘Ammad dan imam Al-Bulqiny), beliau membuat karangan yang menjadi kumpulan dari ringkasan khawasi guru-guru beliau yang diberi nama Khodimu Al-Roudloh.
Setelah kita mengetahui bahwasanya kitab-kitab dalam madzhab Syafi’iyyah selalu berkaitan satu dengan yang lain, ini seperti apa yang dikatakan oleh Dr.Muhammad Ibrohim Ali menjadikan ketenangan pada hati kita dan suatu kekaguman pada pembenaran kitab-kitab ini beserta pengarangnya pada madzhab Syafi’iyyah .

cukup sampai segini dulu semoga bermanfa'at bagi penulis dan tentunya bagi orang lain amin.

Daftar pustaka :
1.Al fathu al mubin fi ta'tifi mustalakhat al fuqoha wa al usuliyin oleh : prof.dr.muahammad ibrohim al khafnawy
Baca Selengkapnya...

Sabtu, 16 Mei 2009

Pandangan tentang Taqlid

PROLOG

Segala puja dan puji syukur kita haturkan kepada Allah Swt Sang pencipta alam, yang mana telah memberikan kita semua nikmat Iman, islam, dan kesehatan, sehingga kita bisa menikmati indahnya kehidupan bermasyarakat dan beragama. Atas ridhoNya pula kita bisa merasakan indahnya beribadah dan bisa mengenyam pendidikan di negri seribu menara, negri para auliya` dan ulama` ini, di mana tak semua orang bisa merasakannya, dan diberi kesempatan belajar di Universitas Islam yang tertua di dunia ini. Lalu patut lah bagi kita untuk selalu bersemangat dan ingat pada tujuan awal kita disini, yang tak lain adalah semata-mata untuk menuntut ilmu di jalanNya, sebagai ungkapan syukur kita kepada Allah atas segala nikmat yang telah diberikaanNya. Sholawat berserta salam tak lupa kita sanjungkan dan haturkan kepada kekasih kita nabi besar Muhammad Saw, yang mana telah memberikan suri tauladan kepada umatnya dan membimbing umatnya dari zaman kegelapan (Jahiliyah) menuju zaman yang terang yaitu Al-Dinu Al-Islam.

Selanjutnya dalam kesempatan ini, kami akan sedikit memaparkan tentang pandangan kritis tentang Talfiq dan mengambil Ruhsoh (mengambil pendapat yang mudah), yang mana sebenarnya ini adalah suatu bagian dari permasalahan atau tema besarnya “TAQLID”, bisa dibilang suatu rantai kesatuan yang tak mungkin terpisahkan dan selalu berkaitan satu sama lain. Sebagaimana yang telah kita bahas dan kaji tentang Taqlid pada pertemuan yang telah lalu. Permasalahan talfiq ini muncul dan mulai didengungkan oleh para Ulama` Mutaahhirun selepas tahun sepuluh hijriyah dan tidak dijumpai sebelum tahun tujuh hijriyah. Hal ini mengingat pada zaman Rosululloh tidak ditemui permasalahan seperti ini, karena pada masa itu masa penyampaian wahyu yang tidak membutuhkan ijtihad di dalamnya, begitu juga zaman sahabat dan tabi`in. Maka permasalahan talfiq ini muncul ketika masa masa kemunduran islam (al-uhud al-inhithot). Lalu bagaimana kita menyingkapi permasalahan ini, yang sebagian ulama tidak memperbolehkannya dengan alasan bisa menyalahi Ijma` Ulama`?.
Dan sebagian ulama yang lain memperbolehkannya, karena pada permasalahan talfiq ini tidak ada dalil yang shorih yang menunjukan kebolehan dan pelarangannya. Serta, tujuan agama Islam itu sendiri mempermudah umatnya, sebagaimana Firman Allah Swt dalam surat Al-Nisa` yang berbunyi: ” Allah berkehendak memberikan keringanan dan manusia dijadikan bersifat lemah ” . Karena itu secara tidak langsung menunjukkan akan kebolehan talfiq itu sendiri. Demikian juga menyinggung tentang bagaimana hukumnya orang awam mengambil atau mengikuti pendapat yang paling mudah (tatabbu’u al-rukhsoh) ?! Untuk lebih jelasnya kita akan bahas lebih jauh setelah ini dan kita diskusikan bersama sama.

Demikian selayang pandang dari kami semoga makalah yang jauh dari kesempurnaan ini bisa bermanfaat untuk kita dan menambah pengetahuan kita dalam khazanah keilmuan islam. Amin amin Ya Robal `alamin...!!

A. Definisi Talfiq

Kata Talfiq menurut etimologi (bahasa), memiliki arti menjahit atau menggabungkan . Sedangkan menurut terminologi (istilah), kata Talfiq ini diartikan dengan makna yang berbeda- beda mengikut penerapannya dalam bidang-bidang ilmu. Dengan kata dasarnya yang membawa makna yang luas, kata Talfiq boleh dijadikan istilah tersendiri dalam beberapa bidang ilmu yang berbeda. Namun, penekanan yang dibuat di sini ialah pada bidang ilmu Usul al-fiqh, karena melihat pemahaman talfiq dalam konteks hukum dan perundang-undangan. Serta supaya lebih fokus terhadap tema besar kajian kita kali ini. Di bawah ini adalah beberapa makna Talfiq secara istilah di sisi bidang keilmuan Usul al-fiqh:
a) Talfiq berarti, mengerjakan sesuatu dengan cara seperti yg tidak dikatakan oleh seorang mujtahid, atau dengan kata lain mengambil satu qodliyah yang mempunya kandungan beberapa rukun atau bagian dengan dua pendapat ulama’ atau lebih supaya sampai pada hakikat sesuatu yang tidak ada seorangpun mengatakannya. Atau mencampuradukkan perbuatan dalam satu qodliyah (rangkaian) ibadah yang memiliki dua pendapat atau lebih, lalu pada tahap pelaksanaan mempraktekkan dengan cara yang tak pernah dipilih dan diakui oleh imam madzhab manapun .

b) Beramal dalam satu permasalahan dengan menggunakan dua pendapat bersama-sama atau salah satunya, dengan adanya kesan pendapat yang kedua. .

c) Mencantumkan dalam satu permasalahan, dua pendapat atau lebih sehingga menghasilkan satu kesimpulan yang tidak dikatakan oleh seseorang atau imam madzhab manapun .

d) Perbuatan mencampurkan pelbagai pendapat madzhab dalam sesuatu masalah dan tidak terikat dengan pendapat satu madzhab .

B. Penggambaran Talfiq

Sebagian gambaran talfiq dalam segi ibadah, yaitu sebagai berikut:

- Pertama: Seseorang berwudlu tanpa menggosok (al-dalku) dengan alasan mengikuti madzhab imam Syafi’i, setelah itu dia bersentuhan dengan perempuan tanpa adanya syahwat, lalu dia punya anggapan wudlu’nya tidak batal dengan alasan mengikuti pendapat imam Malik, kemudian dia pun melakukan shalat. Maka shalat yang ia lakukan hukumnya batal lantaran dalam wudlu’nya terdapat talfiq. Dalam arti, jika mengikuti madzhab Syafi’iyyah, wudlunya sudah batal karena menyentuh perempuan yang bukan mahramnya. Sedangkan, jika mengikuti madzhab Malikiyyah wudlu’nya tidak sah karena tidak melakukan al-dalku atau menggosok .

- Kedua: Seseorang bertaqlid kepada madzhab Syafi`iyyah dengan cukup mengusap sebagian kepala dalam berwudlu, kemudian bertaqlid kepada madzhab Hanafiyyah atau madzhab Malikiyyah yang berpendapat tidak batalnya wudlu ketika bersentuhan dengan perempuan tanpa adanya syahwat. Maka praktek wudlu seperti ini untuk menunaikan sholat itu tidak pernah di katakan oleh para imam madzhab manapun .

Alhasil kedua contoh di atas tidak dibenarkan menurut syaraiat Islam karena telah keluar dari madzhab empat dan akan berdampak menimbulkan madzhab yang kelima.

Sebagian gambaran talfiq dalam segi aktifitas sosial, yaitu sebagai berikut:

- Pertama: Seorang laki-laki menikahi perempuan dengan tanpa wali dengan alasan mengikuti pendapat imam Abu Hanifah, kemudian praktek nikahnya juga tanpa mengajukan mahar dan tanpa menghadirkan saksi mengikuti pendapat imam Malik. Contoh talfiq seperti ini tidak diperbolehkan karena menimbulkan bahaya dan menyalahi kesepakatan para ulama` .

- Kedua: Membuat undang-undang pernikahan dimana akad nikahnya harus dengan wali dan saksi dengan alasan mengikuti madzhab Syafi'iyyah, akan tetapi mengenai sah jatuhnya thalaq raj'i mengikuti madzhab Hanafiyyah yang berpendapat sah ruju'nya bil fi'li (langsung bersetubuh tanpa ada ucapan ruju’). Contoh talfiq seperti ini juga tidak diperbolehkan dengan alas an seperti di atas karena menimbulkan bahaya dan menyalahi kesepakatan para ulama.

C. Ruang lingkup talfiq

Para ulama` fiqh sepakat bahwa ruang lingkup talfiq ini terbatas pada pada masalah-masalah furu`iyah ijtihadiyah dlonniyyah (cabang-cabang fikih ijtihadi yg masih perkiraan). Adapun pada masalah ushuliyyah (pokok dasar agama) seperti masalah iman atau aqidah itu bukanlah ruang lingkup talfiq . Dikarnakan bertaklid saja dalam masalah ini tidak dibenarkan apalagi bertalfiq. Serta tidak di perbolehkan bertalfiq lagi ketika hasilnya akan menghalalkan sesuatu yang jelas jelas keharamannya dengan adanya nash qoth’i, seperti zina dan minuman keras.

Mengenai hukum-hukum furu`iyah yang menjadi ajang ajang bahasan talfiq di atas, ulama` fiqh telah mengelompokkan menjadi tiga bagian sebagai berikut:

- Pertama: Hukum yang berdasar pada kemudahan dan kelapangan yang berbeda-beda sesuai perbedaan kondisi setiap manusia. Hukum-hukum seperti inilah yang termasuk kemurnian ibadah (ibadah mahdloh), karena dalam masalah ibadah seperti ini tujuannnya adalah kepatuhan dan kepasrahan diri seorang hamba kepada Allah Swt.

- Kedua: Hukum yang didasarkan pada sikap wira’i dan ke-ihtiyatan. Hukum-hukum seperti ini biasanya berkaitan dengan sesuatu yang dilarang Allah Swt karena membuat madlorot. Dalam hukum ini tidak dibenarkan mengambil kemudahan dan bertalfiq kecuali dalam keadaan dlorurot. Misalnya larangan memakan bangkai. Dalam hal ini Rasul bersabda : “Segala sesuatu yang aku larang tinggalkanlah, dan segala yang aku perintahkan kerjakanlah sesuai kemampuanmu”.
- Ketiga: Hukum yang didasarkan pada kemaslahatan dan kebahagiaan bagi manusia. Misalnya, pernikahan, had-had dan transaksi sosial ekonomi.

D. Sudut pandang Ulama tentang talfiq:
Ulama’ berbeda pendapat untuk menyikapi hukum talfiq, dikarenakan tidak ada dalil yang jelas tentang perbolehan atau larangan untuk bertalfiq, sebagian pendapat para ulama adalah sebagai berikut:

a) Syeih Syihab Al-Romly dari golongan Syafi`iyyah berpendapat, ketika Madzhab sudah dibukukan dan ada seseorang berpindah dari satu madzhab ke madzhab yg lain itu diperbolehkan. Dan juga ketika seseorang bertaqlid pada satu mujtahid kemudian dalam beberapa masalahan yg lain dia ikut mujtahid yang lain lagi itu juga diperbolehkan, akan tetapi tidak dengan alasan mengambil rukhsoh .

b) Demikian juga Syeih Abdul Ro`uf Al-Manawy dari golongan Syafi`iyyah juga dalam kitab karangan beliau Syarhu Al-Jami` Al-Shoghir berpendapat, bahwasanya talfiq yg di dalamnya terkandung dua hakikat yg kompleks (murokkab) maka itu tidak diperbolehkan karena menyalahi ijma`.
c) Imam Walidy dari kalangan Hanafiyah berpendapat, bahwasanya seseorang itu tidak berkewajiban mengikuti satu madzhab yang ditentukan, dan diperbolehkan untuk dia mengikuti pendapat imam madzhab lain.
d) Imam Ghozali berpendapat untuk melarang praktek talfiq dengan alasan beliau bahwasanya hal tersebut condong pada pengikutan hawa nafsu, sementara syariat menurut beliau datang untuk mengekang liarnya atau tidak terkontrolnya hawa nafsu. Sehingga setiap perkara yang diperbolehkan seseorang untuk mengikuti pada selain madzhabnya, itu harus dikembalikan kepada syari‘at, bukan kepada hawa nafsu belaka. Beliau menyitir ayat Al-Quran yang berbunyi:
artinya :“Jika kamu berselisih paham tentang suatu perkara, maka kembalikanlah kepada Allah Swt” .
e) Imam `Izzudin bin Abdi Al-Salam menyebutkan bahwa, boleh bagi orang awam mengambil ruhshoh beberapa madzhab (talfiq), karena hal tersebut adalah suatu yang disenangi. Dengan alasan beliau bahwa agama Allah itu mudah (dinu allahi yusrun) serta firman Allah dalam surat al-Hajj ayat 78: “Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam satu agama suatu kesempitan”.

f) Imam Al-Qarafi menambahkan bahwa, praktik talfiq ini bisa dilakukan selama ia tidak menyebabkan batalnya perbuatan tersebut ketika dikonfirmasi terhadap semua pendapat imam madzhab yang diikutinya.

E. Justifikasi dalil Syariah pada hukum Talfiq

Secara umum dalam permasalahan talfiq ini tidak ada dalil shorih yang menunjukkan kebolehan atau pelarangan untuk melakukan talfiq. Adapun pendapat yang mengatakan tidak boleh melakukan talfiq itu bersumber dari apa yg dikatakan oleh ulama` Ushul di dalam ijma` mereka, dimana merekaberanggapan bahwasanya dikhawatirkan akan timbulnya pendapat ketiga setelah terjadi perbedaan pendapat antara dua kelompok madzhab. Maka, menurut mayoritas ulama` berpendapat tidak boleh memunculkan pendapat yang ketiga ini akan menyalahi sesuatu yang sudah menjadi kesepakatan ulama` (Ittifaq). Seperti contoh, Iddah (masa penantian) wanita hamil yg ditinggal mati suaminya, dalam masalah ini ada dua pendapat dimana ulama yang pertama berpendapat untuk menunggu setelah selesai melahirkan, dan yang kedua berpendapat untuk menggunakan waktu yang lebih lama diantara kedua waktu tadi (ab`adu al-ajalain). Maka dalam hal ini tidak boleh memunculkan pendapat yang ketiga yaitu, penantiannya si perempuan tadi hanya satu bulan saja .

Akan tetapi dakwaan terhadap pelarangan terjadinya talfiq itu tidak absolut adanya, karena kalau kita mau melihat dengan seksama, permasalahan talfiq itu sendiri baru dicetuskan oleh para ulama’-ulama’ akhir (Muttakhirun) pada masa masa kemunduran islam. Atau lebih jelasnya masalah talfiq ini tidak di jumpai pada zaman ulama terdahulu (Mutaqoddimun), pada masa Rosulullah Saw dan para sahabat, juga pada masa imam-imam madzhab dan murid muridnya. Pada masa Rosulullah Saw jelas sekali tidak adanya praktek talfiq, karena pada masa itu masa turunnya wahyu dan tidak membutuhkan praktik ijtihad di dalamnya. Begitu juga tidak di jumpainya permasalahan talfiq pada masa Sahabat dan Tabi`in, karena apabila ada seseorang yg menanyakan tentang suatu masalah kepada mereka, mereka memfatwakan dengan tanpa keharusan mengikuti pendapat mereka dan tidak juga melemahkan pendapat mufti yang lain. Demikian juga pada masa imam madzhab empat dan para sahabat ijtihad lainnya, yang tidak melarang pengikutinya tuk beramal pada madzhab yang lain, asalkan di setiap mereka mengambil pendapat dari yang lain dengan disertai pengetahuan perbedaan mereka dalam permasalahan furu`iyyah.

Dari kutipan-kutipan pendapat di atas tadi telah memberikan pemahaman kepada kita bahwasannya tidak adanya dalil yang jelas (shorih) atas kebolehan dan pelarangan talfiq itu sendiri, maka secara tidak langsung akan menunjukan atas kebolehan talfiq tersebut. Sesuai dengan kaidah fiqhiyyah yg berbunyi “ Asal setiap sesuatu itu adalah mubah (boleh)” sampai ada dalil syar`i yang tegas melarangnya . Sebagai mana hadits Rosulullah Saw yang berbunyi ; “Kehalalan ialah sesuatu yang diperbolehkan oleh Allah Swt di dalam kitabnya dan keharaman ialah sesuatu yang dilarang oleh Allah Swt di dalam kitabnya pula, apabila tidak tersebutkan maka dima`fu olehnya dan tidak memberatkan atas kamu” . Dan pelarangan atas talfiq tadi itu juga akan menyebabkan ketidak bolehan taqlid yang semestinya diwajibkan terhadap orang awam yang notabenya sebagai pemula dan memungkiri bahwasannya perbedaan para imam adalah rahmat bagi umat Islam. Demikian pula mengingakari asas-asas syari`at yang diciptakan untuk mempermudah umat manusia dan menghilangkan pembebanan atasnya, karena sesungguhnya agama Allah itu mudah bukan untuk memberatkan umatnya. Sebagaimana Firman Allah Swt dalam surat al Baqoroh ayat 185 yang artinya :“Allah Menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kamu”. Meski ayat di atas menyangkut pada hal kebolehan orang yang berbuka puasa di dalam perjalanan pada waktu bulan Ramadhan, tetapi tujuan umum ayat di atas ialah menyeluruh pada tiap-tiap permasalahan agama.
F. Bentuk Talfiq yang diperbolehkan

Kebolehan talfiq di atas tadi tidak bersifat mutlak adanya, akan tetapi dibatasi oleh ruang lingkup yang telah ditentukan sebagai berikut:
-Pertama: Tidak menimbulkan kebatilan pada hakekat sesuatu tersebut, seperti menghalalkan sesuatu yang sudah jelas jelas keharamannya semisal zina dan minum arak .
- Kedua: Tidak menimbulkan bahaya pada selain hakekat sesuatu itu sendiri, seperti mengambil rukhsoh dengan sengaja, dengan cara mengambil kemudahan pada tiap tiap madzhab dengan tanpa keadaan dlorurot dan udzur, ini berbahaya karena berniat menutup kesusahan dengan cara yang salah dengan melemahkan pembebanan syari`at itu sendiri .

Dan ketentuan kebolehan taklid itu sendiri ialah, ketika memang benar benar membutuhkan dan darurat sekali, serta tidak bermain main atau sengaja mengambil kemudahan dengan tanpa pertimbangan kemaslahatan syari`at. Dan talfiq ini juga terbatas pada sebagian hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah ibadah, mu`amalah dan ijtihadiyah, bukan pada masalah qot`iyyah (yang telah pasti). Sesungguhnya kebenaran tentang kebolehan talfiq dan pelarangannya, dapat ditinjau dari aspek yang ditimbulkannya. Yang pertama, apabila sesuatu tersebut mengahantarkan kepada sesuatu yang menghancurkan harapan dari kemaslahatan syari’ah dan ketetapan atas kebijaksanaan syari’ah itu sendiri, maka hal seperti inilah yang dilarang dan dinilai membahayakan. Dan yang kedua, apabila sesuatu perkara tersebut bersifat membaguskan dan menggunakan kebijaksanaan syari’ah itu sendiri untuk menyenangkan manusia di dua sudut permasalahan dengan kemudahan pelaksanaan ibadah atasnya dan menimbulkan kemaslahatan dalam kehidupan sosial masyarakat, maka hal yang seperti ini yang diperbolehkan.

G. Meneliti dan memilih pendapat yang ringan

Setelah kita membahas banyak tentang talfiq di atas tadi, tak lengkap kiranya kalau kita tidak membahas permasalahan tentang meneliti dan memilih pendapat yang ringan, karena permasalahan ini dengan talfiq seperti mata rantai yang tak mungkin terpisahkan satu sama lain. Sebagaimana yang telah kita bahas di atas, bahwasannya dalam permasalahan talfiq kita tidak diperbolehkan mengambil pendapat yang ringan dengan unsur kesengajaan atau tanpa kedaruratan, karena barang siapa yang mengambil kemudahan dengan cara ini maka dihukumi fasiq, menurut pendapat sebagian ulama`. Akan tetapi menurut pendapat sebagian ulama` yang lain , tidak menghukumi fasiq apabila menjelaskan perbedaan ulama` pada masalah-masalah tersebut .

Sedang menurut Imam Ghozali dan pendapat yang al-Ashoh menurut Malikiyyah dan Hanabilah, yaitu melarang praktek mengambil pendapat yang ringan tersebut di dalam madzhab-madzhab, karena hal tersebut condong pada pengikutan hawa nafsu, sementara syari‘at, menurut beliau datang untuk mengekang liarnya dan tidak terkontrolnya hawa nafsu.

Imam Ibnu Abdu Al-Barr dan Ibnu Hazm berpendapat, tidak diperbolehkan kepada orang awam mengikuti pendapat yang ringan-ringan secara keseluruhan, dikarenakan menyebabkan pemutusan pembebanan disetiap masalah yang diperselisihkan didalamnya.

Sebagian ulama’ Malikiyyah yang dipelopori oleh imam Al-Qorofi dan juga mayoritas ulama` Syafi`iyyah, serta pendapat yg rojih menurut ulama` Hanafiyyah, yaitu berpendapat memperbolehkan mengikuti pendapat yang ringan dari berbagai madzhab. Karena tidak adanya nash yang shorih yang melarang hal tersebut dan juga memberikan jalan kemudahan atas manusia, sebagaimana hadits Nabi yang menyatakan bahwa “Rasulullah tidak pernah disuruh memilih sesuatu kecuali akan memilih yang paling mudah” . Tentang hal kebolehan mengambil pendapat yang mudah ini imam Al-Qarafi mensyaratkan, tidak menyebabkan batalnya perbuatan tersebut ketika dikonfirmasi terhadap semua pendapat imam madzhab yang telah diikutinya.

Sebenarnya qoyyid (catatan) yang telah disebutkan di atas tadi bukan dalil yang diambil dari nash Al-Qur`an maupun ijma` para ulama’, melainkan qoyyid mutaahhir (yang disebutkan di belakang), sebagaimana yang pernah di utarakan imam Ibnu Al-Hammam di dalam kitab Al-Tahrir beliau, ketika diperbolehkannya seseorang berbeda pendapat dengan sebagian mujtahid di setiap pendapat yang dilontarkannya, maka sebagian mujtahid itu pun diperbolehkan berbeda pendapat dengan pendapat seseorang tersebut, dan itu lebih utama.

Dan adapun pendapat dari imam Ibnu Abdi Al-Barr tadi, yang menyatakan bahwasannya tidak diperbolehkannya seorang yang awam mengambil pendapat yang ringan, maka tidak dibenarkan pengambilan pendapat seperti itu tadi, meski selamat maka tidak dibenarkan juga menurut ijma’ dan dihukumi fasiq bagi seseorang yang mengambil pendapat yang mudah di antara salah satu dua riwayat tersebut.
Menanggapi tentang permasalahan di atas, Syeih Muhammad Al-Baghdadi menyebutkan beberapa sebab pelarangan talfiq bagi orang Awam yaitu sebagai berikut ;
- Pertama: Ditakutkan terjadinya sesuatu yang dilarang yang akan menyalahi kesepakatan Ulama’ (ittifaq).
- Kedua: Tidak disahkannya orang awam melakukan taqlid kecuali pendapatnya (fatwa) dari seseorang yang khusus yang ingin diikutinya.

Sedang menurut imam Nawawi dalam kitab Raudloh karangan beliau, mengutarakan bahwasanya hal seperti itu tidak termasuk fasiq. Mengenai ini imam Al-Izzu bin Abdi Al-Salam juga berkomentar, bahwasannya di anjurkannya seorang awam mengambil pendapat yang paling mudah, karena mengambil rukhshoh tersebut disukai, sebagaimana hadits nabi Muhammad Saw yang menyatakan bahwasannya “ Rosulullah Saw menyukai suatu perkara yang memudahkan umatnya”.

H. Penutup

Al-Hamdu lillahi Robbi al-alamin segala puji kami haturkan kembali kepada Allah Swt, karena kami telah menyelesikan makalah yang sederhana ini, meski kami sadar masih banyak kekurangan disana sini, baik dari segi penelurusan masalah dengan dalil dalilnya dan masih minimnya pengetahuan kami tentang maroji`. Tapi `ala kulli hall kami juga sadar bahwa kami adalah manusia biasa yang tak pernah luput dari salah dan dosa. Bila ada kebaikan itu semua berasal dari Allah dan bila ada kesalahan itu datangnya murni dari diri kami pribadi. Semoga ini semua bermanfaat bagi kita semua dan kritik beserta sarannya dari teman-teman sangat kami harapkan.


I. Daftar Pustaka

1- Al-Qur’an Al-Karim dan terjemahannya.
2- Ushul Al-Fiqh Al-Islamy, oleh dr. Wahbah Zuhaily.
3- Kamus kontemporer Al-Ashry.
4- Hulasotu Al-Tahqiq Fi Bayani Hukmi Al-Taqlid Wa Al-Talfiq.
5- Al-Qowa`id Al-Fiqhiyyah, oleh Dr. Abdul aziz Azzam
Baca Selengkapnya...

Sabtu, 14 Februari 2009

KESEHATAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN REALITA

PENDAHULUAN
Sesungguhnya kalau kita mau meneliti dengan seksama berdasarkan logika dan fakta yang ada tanpa harus melihat dari sisi lain, agama kita ini––Islam––merupakan agama yang sempurna dan universal.
Ajarannya tidak hanya melulu mengurusi masalah yang bersifat ritual saja. Karena agama inii tidak bertujuan untuk membentuk para pendeta yang buta tentang fenomena kauniah. Agama ini juga tidak mengajarkan kebahagiaan semu dengan meraih kejayaan di bidang sains, tegnologi, atau bahkan kemakmuran ekonomi semata tanpa sentuhan spiritualitas. Dan dalam Islam telah mencakup semua aspek yang apabila di aplikasikan akan memenuhi setiap rusuk tubuh manusia dengan kesejahteraan. Pun, Islam mengkonsep kemenangan dunia-akhirat dengan janji-janji Allah yang telah disebutkan dalam al Qur'an tentang kejayaan Islam. Dan ini semua––kejayaan dan kemenangan––tidak akan bisa terealisasikan tanpa adanya kesehatan jasmani dan ruhani. Dari itu, Islam pun menyariatkan penjagaan tubuh, sehingga terbebas dari penyakit. Kita juga bisa melihat dari WHO (world health organitation), Organisasi Kesehatan Dunia. Ketika ada lembaga semacam ini, kita bisa ambil kesimpulan bahwa kesahatan itu sangatlah penting bagi kehidupan kita, baik kesehatan secara fisik, mental, dll. Masalah kesehatan memang menjadi sesuatu yang sangat penting bagi kemajuan sumber daya suatu bangsa. Ambil contoh "Human Development Index" misalnya, menyertakan kesehatan jadi salah satu indikatornya di samping pendidikan dan ekonomi. Pendahuluan di atas merupakan secuil pengertian, bahwa kesehatan itu sangatlah di jaga dan sangat penting di dalam Islam. Adapun dalil yang menjadi dalalah atas pentingnya kesehatan di dalam Islam, ialah dalil dari al Qur'an dan al Sunnah.dengan wajhu al dalalahnya.
Seperti firman Allah: saya tidak menyertakan ayatnya di karnakan web ini tidak bisa menerima ( al baqorog No,ayat 180).
Wajhu al dalalah: melihat dhahirnya ayat al Qur'an di atas, diperbolehkannya iftar bagi orang yang terkena penyakit, sehingga mengakibatkan tidak mampunya menjalankan ibadah puasa Ramadhan, dan begitu juga di perbolehkannya iftar bagi orang yang bepergian dengan uzur masyaqqatu al safar. Dan illat dari keduanya adalah masyaqqah ( masyaqqah maridh dan masyaqqah safar ). Dari ayat di atas, kita bisa melihat bahwa Allah itu memberi rukhsah (dispensasi––ed) bagi orang yang sakit dan orang yang bepergian dengan diperbolehkannya iftar, itu menunjukkan bahwa Islam itu sangat menjaga kesehatan.Penjelasan di syari'atkannya berobat dan hukumnya.penyakit juga memberi obatnya kecuali satu penyakit yang tidak ada obatnya. Orang itu bertanya: apa itu wahai utusan Allah? Nabi menjawab: penyakit tua.Hadist di atas menjadi dalil yang sangat jelas bahwa berobat itu di syariatkan. Dan hukum asl dari berobat adalah sunnah menurut jumhur al ulama, mulai dari Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafiiyah . Akan tetapi, hukum asli tersebut juga bisa berubah dalam kondisi tertentu. Berikut ini adalah uraian bebarapa komentar para fuqaha'.
PENJELASAN DI SYARIATKANYA BEROBAT DAN HUKUMNYA,
al Mukhafadah ala al Nafsi itu adalah perkara yang di syari'atkan, dan manusia di perintahkan untuk menjaga kesehatan dengan menggunakan perantara pengobatan, karna pengobatan itu identik dengan pencegahan atau menanggulangi datangnya penyakit yang tentunya dengan izin Allah. Manusia diharuskan untuk berobat yang bisa menjadikan sehat dari keadaan yang tidak sehat, sehingga menjadi kuat. Seperti hadist yang di riwayatkan oleh imam Tirmidzi:
Datang salah seorang kepada nabi dan dia berkata: wahai utusan Allah apakah aku harus berobat? Jawab nabi: iya, wahai hamba Allah berobatlah, karna Allah Swt. memberi
Melihat dari pentingnya kesehatan di dalam Islam, maka penulis akan sedikit menjelaskan tentang di syariatkannya menjaga kesehatan lewat pengobatan. Adapun penjelasan yang akan saya uraikan adalah masalah di syariatkannya berobat dan hukum asli berobat menurut para fuqaha'.Menurut ibnu Taimiyah, masalah seperti itu (berobat) di hukumi wajib apabila dengan menghindari berobat bisa mengakibatkan hilangnya nyawa atau madharat pada diri sendiri, semisal ahli kedokteran telah memfonis bahwa penyakit pasien bisa sembuh apabila mengkonsumsi obat yang sudah di anjurkan oleh dokter dan kemungkinan sembuhnya itu sangatlah besar. Fakta seperti ini di hukumi wajib berobat bagi pasien. Hukum wajib ini telah disepakati oleh jumhur ulama dari kalangan Syafiiyah, Malikiyah, dan Hanafiyah.
Selanjutnya, berobat di hukumi sunnah.apabila fonis dari dokter masih fifty-fifty, antara kemungkinan sembuh dan kemungkinan tidak sembuh. Dan di hukumi makruh apabila kemungkinan untuk sembuh itu sangatlah tipis. Hukum yang ketiga bisa dikatakan perkara yang tidak ada artinya . Dan dalam hukum yang ketiga ini di anjurkan tawakal kepada allah dengan meninggalkan berobat. Akan tetapi imam ibnu Hambal berbeda tentang hukum berobat. Beliau mengatakan bahwa hukum berobat itu adalah makruh. Dan beliau lebih menitik beratkan tawakal terhadap Allah. Dan beliau menambahi bahwa meninggalkan berobat dengan tawakal itu lebih utama. Akan tetapi akan timbul pertanyaan apakah dengan berobat akan menafikan tawakal? Para ulama mengomentari bahwa berobat itu juga tidak menafikan tawakal.

PENGAPLIKASIAN HUKUM DALAM REALITA SEKARANG.
Seperti yang kita ketahui saat ini, harga-harga obat semakin melambung tinggi dan biaya pengobatan juga tentulah sangat mahal. Dari sini akan timbul pengaplikasian hukum dengan realita saat ini, dihukumi apakah orang yang tidak mampu membeli obat atau berobat? Apakah hukum sunnah masih berlaku pada konteks fakta seperti itu? Memandang dari realita yang ada, maka penulis akan mencoba mengaplikasikan hukum-hukum yang ada dengan fakta di atas. Dalam menyikapi persoalan di atas, ada kemungkinan dua pihak yang perlu di titik beratkan: pihak pemerintah dan indifidu masing-masing. Dalam hal ini, pemerintah sangat bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyatnya, bisa juga di katakan wajib hukumnya, untuk menfasilitasi dengan menyediakan obat-obatan yang bisa terjangkau dan tenaga ahli kedokteran. Dalam surat kabar yg pernah saya baca. menyebutkan bahwa pemerintah sangat minim mempunyai orang-orang yang benar ahli dalam bidang kedokteran. Kalkulasi yang ada menyebutkan bahwa tenaga kerja dokter di Indoesia saat ini mencapai 70.000 dengan spesifikasi, 10.000 dokter sepesialis dan 60.000 dokter umum. Itu menunjukkan bahwa pemerintah kurang respek terhadap masarakatnya, sehingga ini bisa menjadi dampak yang fatal bagi kesejahteraan masyarakat. Melihat jumlah penduduk Indonesia yang berjuta-juta jumlahnya dan dengan adanya tenaga ahli kedokteran seperti itu, jelaslah tidak memadai. Dengan ketidakberdayaan pemerintah menfasilitasi tenaga ahli kedokteran itu bisa berdampak pada harga obat yang secara bertahap mendapati kenaikan. Dan fakta seperti itu bisa di hukumi makruh berobat bagi orang yang tidak mampu untuk membeli obat atau tidak mampu menangung biyaya pengobatan. Dengan alasan biaya yang terlalu mahal dan tidak bisa terjangkau bagi kalangan menengah ke bawah, ini bisa di kategorikon masyaqqah (kesusahan) yang menjadikan hukum berobat, yang tadinya sunnah, jadi makruh di karnakan faktor ketidakmampuan menangung biaya. Kita juga bisa mengkiyaskan dengan kaidah fiqhiyah, al dhoror la yuzalu bi al dhoror (bahaya tidak boleh di hilangkan dengan bahaya lain) karena dengan mengeluarkan uang yang jumlahnya tinggi bisa memberi mudharat, sehingga bukannya menghilangkan mudharat malah bisa-bisa menambahnya. Maka, menurut penulis masalah tersebut bisa dikiyaskan dengan kaidah di atas. kalau kita memaksakan untuk berobat dengan biaya yang mahal, malah nantinya akan membuat ekonomi kita kekurangan. Dan hal ini sangatlah berakibat fatal bagi kehidupan kita yang akan datang. Maka, penulis memberi saran dengan mengambil qaulnya (ucapan) Ahmad bin Hambal bahwa hukum berobat––dalam permasalah ini––hukumnya makruh di karnakan itu bisa menambah mudharat dengan mengeluarkan biaya yang sangat mahal. Maka, dalam situasi seperti ini tawakal ala allah (berpasrah kepada allah) itu menjadi perkara yang dianjurkan menurut imam Ahmad bin Hambal.
Saya kira cukup sampai di sini saya akhiri tulisan saya dengan berharap semoga menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi saya dan tentunya juga bagi orang lain. Semoga dapat menjadikan suatu yang mendapat barakah, amin.

Daftar pustaka:
1. al-Qur'anu al Karim
2. Qadlaya Muasirh, Prof. Dr. Saif Ragab Jamil
3. Qadlaya Muasirah diktat fak. Syariah tk.1
4. Qulyubi wa Amirah, Sihabudin al Qulyubi dan Syaikh Amirah
5. Ihya Ulumu al-Din, imam al-Ghazali
6. al-Asybah wa al-Nadzair, imam Suyuthi
7. Sunan Tirmidzi
Baca Selengkapnya...

Sabtu, 31 Januari 2009

PENYEBAB IKHTILAF DI KALANGAN SAHABAT.

Salah satu sebab utama ikhtilaf di antara para sahabat adalah prosedur penetapan hukum untuk masalah-masalah baru yang tidak terjadi pada zaman Rasulullah sawa. Sementara itu, setelah Rasulullah wafat, putuslah masa tasyi'. Menghadapi masalah-masalah baru itu, muncul dua pandangan. [8]

Kelompok pertama memandang bahwa otoritas untuk menetapkan hukum- hukum Tuhan dan menjelaskan makna al-Qur'an setelah Rasulullah wafat dipegang ahl al-Bait. Hanya merekalah, menurut nash dari Rasul, yang harus dirujuk untuk menyelesaikan masalah-masalah dan menetapkan hukum-hukum Allah. Kelompok ini tidak mengalami kesulitan dalam masa berhentinya wahyu, karena mereka tahu betul -- tugas mereka adalah mengacu pada Ma'shumun.

Kelompok kedua memandang tidak ada orang tertentu yang ditunjuk rasul untuk menafsirkan dan menetapkan perintah Ilahi. Al-Qur'an dan al-Sunnah adalah sumber untuk menarik hukum-hukum berkenaan dengan masalah-masalah yang timbul di masyarakat. Kelompok ini -- kelak disebut Ahl al-Sunnah-- ternyata tidak mudah mengambil hukum dari nash, karena banyak hal tak terjawab oleh nash. Mereka akhirnya menggunakan metode-metode ijtidah seperti qiyas atau istihsan. Semua Khalifah al-Rasyidin termasuk kelompok kedua, kecuali Ali bin Abi Thalib. Kelompok kedua lebih banyak menggunakan ra'yu, dan kelompok pertama lebih banyak merujuk nash. Kelompok kedua banyak menggunakan dalil aqly, kelompok pertama dalil naqli.

Umar pernah melarang hajji tamattu', padahal al-Qur'an dan al- Sunnah sangat tegas menetapkannya. Ketika Utsman juga melarangnya, Ali secara demonstratif melakukannya di depan Utsman. Kata Utsman: "Aku melarang manusia melakukan tamattu, dan engkau sendiri melakukannya." Ali menjawab: "Aku tak akan meninggalkan sunnah Rasulullah saw. hanya karena pendapat seseorang." [9] Setelah perdebatan ini, menurut riwayat lain dari Abdullah bin Zubair, Utsman berkata: "Sesungguhnya laranganku itu hanya ra'yuku saja. Siapa yang mau boleh menjalankannya; siapa yang tak mau boleh meninggalkannya." [10]

Contoh lainnya adalah hukuman dera bagi peminum khamr. Rasulullah sawa. menderanya 40 kali. [11] Umar --atas saran Abd al-Rahman bin Auf menderanya 80 kali. Ali kembali menderanya 40 kali. Rasulullah sawa. menetapkan thalaq tiga dalam satu majlis itu dihitung satu. [12] Begitu pula Ali. Umar menetapkan thalaq tiga itu jatuh tiga sekaligus. Umar memutuskan hukuman rajam bagi orang gila yang berzina. Ali membebaskan hukum itu berdasarkan hadits. [13]

Bila contoh-contoh tadi berkenaan dengan perbedaan antara ketetapan nash dengan ra'yu, contoh-contoh berikut menunjukkan perbedaan memahami nash. Kata quru dalam wal muthalaqatu yatarabbashna bi anfusihim tsalatsatu quru' diartikan berbeda-beda. Abdullah bin Mas'ud dan Umar mengartikan "quru" itu haidh. Zaid ibn Tsabit mengartikannya masa bersuci di antara haidh dengan haidh lagi. [14] Ibn Umar menafsirkan al-muhshanat dalam ayat wa al muhshanat min alladzina utu al-kitab sebagai wanita Muslim, karena itu Ibn Umar mengharamkan wanita ahli kitab dinikahi laki-laki Muslim. Ibn 'Abbas menganggap ayat itu sebagai pengecualian (takhshish) dari ayat wa la tankihu al-musyrikat hatta yu'minna. Utsman tampaknya sependapat dengan Ibn 'Abbas, karena ia menikah dengan Nailah, wanita Nashrani, dan Thalhah menikahi wanita Yahudi dari Syam. [15]

Kadang-kadang ikhtilaf terjadi di antara para sahabat karena perbedaan pengetahuan yang mereka miliki. Sebagian sahabat, misalnya, mengetahui nash tertentu, sebagian lain tidak mengetahuinya. Umar pernah menegur orang yang dikiranya salah ketika membaca QS al-Fath: 26. Ia memarahi orang itu. Tetapi Umar kemudian dikoreksi Ubayy bin Ka'ab. Kata Ubayy : "Anda tahu saya berada di dalam beserta Rasulullah saw. ketika ia membaca ayat itu. Engkau sendiri berada di pintu... Demi Allah Ya Umar, sesungguhnya Anda tahu, ketika saya hadir Anda tidak ada; ketika saya diundang, Anda tidak." [16]

Al-Syaikh Muhammad Muhammad al-Madany menjelaskan salah satu sebab ikhtilaf yang berkenaan dengan sunnah: [17]

Sahabat Rasulullah saw., yang mengambil sunnah dari Nabi dan meriwayatkannya, berbeda-beda dalam kemampuan pengambilannya dan dalam menerima riwayatnya. Rasulullah saw. ditanya tentang suatu masalah. Ia menghukum dengan hukum tertentu memerintahkan atau melarang sesuatu, melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Yang hadir waktu itu dapat menyimpan peristiwa itu, yang tidak hadir tentu tidak mengetahuinya. Ketika Rasulullah saw. wafat, bertebaranlah sahabat di negeri-negeri, dan setiap penduduk negeri mengambil dari sahabat yang ada di negeri mereka.

Berkata Ibn Hazm: "Orang Madinah hadir pada tempat yang tidak dihadiri orang Basrah, orang Basrah menghadiri tempat yang tidak dihadiri orang Syam; orang Syam hadir ditempat yang tidak dihadiri orang Basrah; orang Basrah menghadiri yang tidak dihadiri orang Kufah; orang Kufah hadir di tempat yang tidak dihadiri orang Madinah."

Ini semua terjadi dalam hadits, dan pada saat kita memerlukan informasi. Padahal --seperti telah kita jelaskan--sebagian sahabat pada sebagian waktu tidak hadir di majelis Rasulullah saw., sedangkan sebagian lagi hadir. Setiap orang hanya mengetahui apa yang ia saksikan, dan tidak mengetahui apa yang tidak ia hadiri. Ini jelas menurut akal. 'Amar dan yang lain mengetahui tentang tayamum, Umar dan Ibn Mas'ud tidak mengetahuinya, sehingga mereka berkata: "Orang junub tidak tayamum, walau pun tidak menemukan air selama dua bulan."

Ali, Hudzaifah al-Yamani dan lain-lain mengetahui hukum mengusap tetapi 'Aisyah, Ibn 'Umar, Abu Hurairah tidak mengetahuinya walaupun mereka penduduk Madinah. Anak perempuan dari anak beserta anak perempuan mendapat waris diketahui Ibn Mas'ud tetapi tidak diketahui Abu Musa.

Marilah kita berikan satu contoh lagi yang lebih ilustratif. Ketika orang sedang berkumpul di hadapan Umar bin Khathab, masuklah seorang laki-laki: "Ya Amir al-mu'minin, ini Zaid bin Tsabit berfatwa di masjid dengan ra'yunya berkenaan dengan mandi janabah." Kata Umar: "Panggil dia!" Zaid pun datang dan Umar berkata: "Hai musuh dirinya sendiri!, aku dengar kau berfatwa pada manusia dengan ra'yumu sendiri?" Kata Zaid: "Ya Amir al- Mu'minin. Aku tidak melakukan itu. Tetapi aku mendengar hadits dari paman-pamanku, lalu aku sampaikan -- dan Abi Ayyub dari Ubbay bin Ka'ab, dari Rafa'ah bin Rafi'."

Kata Umar: "Panggil Rafa'ah bin Rafi'. Ia berkata: "Apakah kalian berbuat demikian - bila kalian bercampur dengan isteri kalian dan tidak keluar air mani, kalian mandi?" Kata Rafa'ah: "Kami melakukan begitu pada zaman Rasulullah saw. Tidak turun ayat yang mengharamkan. Tidak juga ada larangan dari Rasulullah saw." Kata Umar: "Apakah Rasulullah saw. mengetahuinya?" Kata Rafa'ah: "Tidak tahu." Lalu Umar mengumpulkan Muhajirin dan Anshar, lalu bermusyawarah.

Semua orang berkata tidak perlu mandi, kecuali Ali dan Mu'adz. Keduanya berkata: "Jika kedua khitan bertemu, wajib mandi." Kata Umar: "Kalian sahabat- sahabat yang ikut Badr sudah ikhtilaf, apalagi orang-orang setelah kalian!" Kata Ali, "Ya Amir al-Mu'minin, tidak ada orang yang lebih tahu dalam hal ini kecuali isteri Rasulullah saw." Ia mengutus orang bertanya pada Hafshah. Hafshah tidak tahu. 'Aisyah ditanya. Kata 'Aisyah: "Bila khitan sudah bertemu khitan, wajib mandi." Kata Umar: "Bila ada lagi orang berfatwa bahwa tidak wajib mandi kalau tidak keluar, aku akan pukul dia." [18]

Dalam kasus yang baru kita ceritakan, ikhtilaf di antara para sahabat dapat diselesaikan oleh khalifah. Khalifah bahkan menetapkan sangsi bagi orang yang mempunyai pendapat berbeda. Dalam kasus-kasus yang lain, ikhtilaf di antara para sahabat itu dibiarkan dan diwariskan kepada generasi berikutnya. Buat orang- orang sektarian, ikhtilaf para sahabat ini menjadi sumber perpecahan. Buat orang yang berjiwa terbuka, ikhtilaf ini adalah assets bagi perkembangan pemikiran.
'Umar bin Abd al-'Aziz, tokoh ukhuwah Islamiyah yang menghentikan kutukan pada Ali di mimbar, berkata: "Aku tidak senang kalau sahabat Nabi tidak ikhtilaf. Seandainya pendapat mereka itu tunggal, sempitlah manusia dibuatnya. Mereka adalah teladan yang diikuti. Jika kita mengambil dari siapa saja di antara mereka, jadilah itu sunnah. Artinya, mereka membuka pintu ijtihad bagi manusia. Mereka boleh ikhtilaf, karena bila mereka tidak membukanya, para mujtahid berada dalam kesempitan. Allah memberikan keluasan pada umat dengan adanya ikhtilaf furu'i diantara mereka. Dengan begitu, ia membuka umat untuk memasuki Rahmat-Nya." [19]

Baca Selengkapnya...