Salah satu sebab utama ikhtilaf di antara para sahabat adalah prosedur penetapan hukum untuk masalah-masalah baru yang tidak terjadi pada zaman Rasulullah sawa. Sementara itu, setelah Rasulullah wafat, putuslah masa tasyi'. Menghadapi masalah-masalah baru itu, muncul dua pandangan. [8]
Kelompok pertama memandang bahwa otoritas untuk menetapkan hukum- hukum Tuhan dan menjelaskan makna al-Qur'an setelah Rasulullah wafat dipegang ahl al-Bait. Hanya merekalah, menurut nash dari Rasul, yang harus dirujuk untuk menyelesaikan masalah-masalah dan menetapkan hukum-hukum Allah. Kelompok ini tidak mengalami kesulitan dalam masa berhentinya wahyu, karena mereka tahu betul -- tugas mereka adalah mengacu pada Ma'shumun.
Kelompok kedua memandang tidak ada orang tertentu yang ditunjuk rasul untuk menafsirkan dan menetapkan perintah Ilahi. Al-Qur'an dan al-Sunnah adalah sumber untuk menarik hukum-hukum berkenaan dengan masalah-masalah yang timbul di masyarakat. Kelompok ini -- kelak disebut Ahl al-Sunnah-- ternyata tidak mudah mengambil hukum dari nash, karena banyak hal tak terjawab oleh nash. Mereka akhirnya menggunakan metode-metode ijtidah seperti qiyas atau istihsan. Semua Khalifah al-Rasyidin termasuk kelompok kedua, kecuali Ali bin Abi Thalib. Kelompok kedua lebih banyak menggunakan ra'yu, dan kelompok pertama lebih banyak merujuk nash. Kelompok kedua banyak menggunakan dalil aqly, kelompok pertama dalil naqli.
Umar pernah melarang hajji tamattu', padahal al-Qur'an dan al- Sunnah sangat tegas menetapkannya. Ketika Utsman juga melarangnya, Ali secara demonstratif melakukannya di depan Utsman. Kata Utsman: "Aku melarang manusia melakukan tamattu, dan engkau sendiri melakukannya." Ali menjawab: "Aku tak akan meninggalkan sunnah Rasulullah saw. hanya karena pendapat seseorang." [9] Setelah perdebatan ini, menurut riwayat lain dari Abdullah bin Zubair, Utsman berkata: "Sesungguhnya laranganku itu hanya ra'yuku saja. Siapa yang mau boleh menjalankannya; siapa yang tak mau boleh meninggalkannya." [10]
Contoh lainnya adalah hukuman dera bagi peminum khamr. Rasulullah sawa. menderanya 40 kali. [11] Umar --atas saran Abd al-Rahman bin Auf menderanya 80 kali. Ali kembali menderanya 40 kali. Rasulullah sawa. menetapkan thalaq tiga dalam satu majlis itu dihitung satu. [12] Begitu pula Ali. Umar menetapkan thalaq tiga itu jatuh tiga sekaligus. Umar memutuskan hukuman rajam bagi orang gila yang berzina. Ali membebaskan hukum itu berdasarkan hadits. [13]
Bila contoh-contoh tadi berkenaan dengan perbedaan antara ketetapan nash dengan ra'yu, contoh-contoh berikut menunjukkan perbedaan memahami nash. Kata quru dalam wal muthalaqatu yatarabbashna bi anfusihim tsalatsatu quru' diartikan berbeda-beda. Abdullah bin Mas'ud dan Umar mengartikan "quru" itu haidh. Zaid ibn Tsabit mengartikannya masa bersuci di antara haidh dengan haidh lagi. [14] Ibn Umar menafsirkan al-muhshanat dalam ayat wa al muhshanat min alladzina utu al-kitab sebagai wanita Muslim, karena itu Ibn Umar mengharamkan wanita ahli kitab dinikahi laki-laki Muslim. Ibn 'Abbas menganggap ayat itu sebagai pengecualian (takhshish) dari ayat wa la tankihu al-musyrikat hatta yu'minna. Utsman tampaknya sependapat dengan Ibn 'Abbas, karena ia menikah dengan Nailah, wanita Nashrani, dan Thalhah menikahi wanita Yahudi dari Syam. [15]
Kadang-kadang ikhtilaf terjadi di antara para sahabat karena perbedaan pengetahuan yang mereka miliki. Sebagian sahabat, misalnya, mengetahui nash tertentu, sebagian lain tidak mengetahuinya. Umar pernah menegur orang yang dikiranya salah ketika membaca QS al-Fath: 26. Ia memarahi orang itu. Tetapi Umar kemudian dikoreksi Ubayy bin Ka'ab. Kata Ubayy : "Anda tahu saya berada di dalam beserta Rasulullah saw. ketika ia membaca ayat itu. Engkau sendiri berada di pintu... Demi Allah Ya Umar, sesungguhnya Anda tahu, ketika saya hadir Anda tidak ada; ketika saya diundang, Anda tidak." [16]
Al-Syaikh Muhammad Muhammad al-Madany menjelaskan salah satu sebab ikhtilaf yang berkenaan dengan sunnah: [17]
Sahabat Rasulullah saw., yang mengambil sunnah dari Nabi dan meriwayatkannya, berbeda-beda dalam kemampuan pengambilannya dan dalam menerima riwayatnya. Rasulullah saw. ditanya tentang suatu masalah. Ia menghukum dengan hukum tertentu memerintahkan atau melarang sesuatu, melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Yang hadir waktu itu dapat menyimpan peristiwa itu, yang tidak hadir tentu tidak mengetahuinya. Ketika Rasulullah saw. wafat, bertebaranlah sahabat di negeri-negeri, dan setiap penduduk negeri mengambil dari sahabat yang ada di negeri mereka.
Berkata Ibn Hazm: "Orang Madinah hadir pada tempat yang tidak dihadiri orang Basrah, orang Basrah menghadiri tempat yang tidak dihadiri orang Syam; orang Syam hadir ditempat yang tidak dihadiri orang Basrah; orang Basrah menghadiri yang tidak dihadiri orang Kufah; orang Kufah hadir di tempat yang tidak dihadiri orang Madinah."
Ini semua terjadi dalam hadits, dan pada saat kita memerlukan informasi. Padahal --seperti telah kita jelaskan--sebagian sahabat pada sebagian waktu tidak hadir di majelis Rasulullah saw., sedangkan sebagian lagi hadir. Setiap orang hanya mengetahui apa yang ia saksikan, dan tidak mengetahui apa yang tidak ia hadiri. Ini jelas menurut akal. 'Amar dan yang lain mengetahui tentang tayamum, Umar dan Ibn Mas'ud tidak mengetahuinya, sehingga mereka berkata: "Orang junub tidak tayamum, walau pun tidak menemukan air selama dua bulan."
Ali, Hudzaifah al-Yamani dan lain-lain mengetahui hukum mengusap tetapi 'Aisyah, Ibn 'Umar, Abu Hurairah tidak mengetahuinya walaupun mereka penduduk Madinah. Anak perempuan dari anak beserta anak perempuan mendapat waris diketahui Ibn Mas'ud tetapi tidak diketahui Abu Musa.
Marilah kita berikan satu contoh lagi yang lebih ilustratif. Ketika orang sedang berkumpul di hadapan Umar bin Khathab, masuklah seorang laki-laki: "Ya Amir al-mu'minin, ini Zaid bin Tsabit berfatwa di masjid dengan ra'yunya berkenaan dengan mandi janabah." Kata Umar: "Panggil dia!" Zaid pun datang dan Umar berkata: "Hai musuh dirinya sendiri!, aku dengar kau berfatwa pada manusia dengan ra'yumu sendiri?" Kata Zaid: "Ya Amir al- Mu'minin. Aku tidak melakukan itu. Tetapi aku mendengar hadits dari paman-pamanku, lalu aku sampaikan -- dan Abi Ayyub dari Ubbay bin Ka'ab, dari Rafa'ah bin Rafi'."
Kata Umar: "Panggil Rafa'ah bin Rafi'. Ia berkata: "Apakah kalian berbuat demikian - bila kalian bercampur dengan isteri kalian dan tidak keluar air mani, kalian mandi?" Kata Rafa'ah: "Kami melakukan begitu pada zaman Rasulullah saw. Tidak turun ayat yang mengharamkan. Tidak juga ada larangan dari Rasulullah saw." Kata Umar: "Apakah Rasulullah saw. mengetahuinya?" Kata Rafa'ah: "Tidak tahu." Lalu Umar mengumpulkan Muhajirin dan Anshar, lalu bermusyawarah.
Semua orang berkata tidak perlu mandi, kecuali Ali dan Mu'adz. Keduanya berkata: "Jika kedua khitan bertemu, wajib mandi." Kata Umar: "Kalian sahabat- sahabat yang ikut Badr sudah ikhtilaf, apalagi orang-orang setelah kalian!" Kata Ali, "Ya Amir al-Mu'minin, tidak ada orang yang lebih tahu dalam hal ini kecuali isteri Rasulullah saw." Ia mengutus orang bertanya pada Hafshah. Hafshah tidak tahu. 'Aisyah ditanya. Kata 'Aisyah: "Bila khitan sudah bertemu khitan, wajib mandi." Kata Umar: "Bila ada lagi orang berfatwa bahwa tidak wajib mandi kalau tidak keluar, aku akan pukul dia." [18]
Dalam kasus yang baru kita ceritakan, ikhtilaf di antara para sahabat dapat diselesaikan oleh khalifah. Khalifah bahkan menetapkan sangsi bagi orang yang mempunyai pendapat berbeda. Dalam kasus-kasus yang lain, ikhtilaf di antara para sahabat itu dibiarkan dan diwariskan kepada generasi berikutnya. Buat orang- orang sektarian, ikhtilaf para sahabat ini menjadi sumber perpecahan. Buat orang yang berjiwa terbuka, ikhtilaf ini adalah assets bagi perkembangan pemikiran.
'Umar bin Abd al-'Aziz, tokoh ukhuwah Islamiyah yang menghentikan kutukan pada Ali di mimbar, berkata: "Aku tidak senang kalau sahabat Nabi tidak ikhtilaf. Seandainya pendapat mereka itu tunggal, sempitlah manusia dibuatnya. Mereka adalah teladan yang diikuti. Jika kita mengambil dari siapa saja di antara mereka, jadilah itu sunnah. Artinya, mereka membuka pintu ijtihad bagi manusia. Mereka boleh ikhtilaf, karena bila mereka tidak membukanya, para mujtahid berada dalam kesempitan. Allah memberikan keluasan pada umat dengan adanya ikhtilaf furu'i diantara mereka. Dengan begitu, ia membuka umat untuk memasuki Rahmat-Nya." [19]
Kelompok pertama memandang bahwa otoritas untuk menetapkan hukum- hukum Tuhan dan menjelaskan makna al-Qur'an setelah Rasulullah wafat dipegang ahl al-Bait. Hanya merekalah, menurut nash dari Rasul, yang harus dirujuk untuk menyelesaikan masalah-masalah dan menetapkan hukum-hukum Allah. Kelompok ini tidak mengalami kesulitan dalam masa berhentinya wahyu, karena mereka tahu betul -- tugas mereka adalah mengacu pada Ma'shumun.
Kelompok kedua memandang tidak ada orang tertentu yang ditunjuk rasul untuk menafsirkan dan menetapkan perintah Ilahi. Al-Qur'an dan al-Sunnah adalah sumber untuk menarik hukum-hukum berkenaan dengan masalah-masalah yang timbul di masyarakat. Kelompok ini -- kelak disebut Ahl al-Sunnah-- ternyata tidak mudah mengambil hukum dari nash, karena banyak hal tak terjawab oleh nash. Mereka akhirnya menggunakan metode-metode ijtidah seperti qiyas atau istihsan. Semua Khalifah al-Rasyidin termasuk kelompok kedua, kecuali Ali bin Abi Thalib. Kelompok kedua lebih banyak menggunakan ra'yu, dan kelompok pertama lebih banyak merujuk nash. Kelompok kedua banyak menggunakan dalil aqly, kelompok pertama dalil naqli.
Umar pernah melarang hajji tamattu', padahal al-Qur'an dan al- Sunnah sangat tegas menetapkannya. Ketika Utsman juga melarangnya, Ali secara demonstratif melakukannya di depan Utsman. Kata Utsman: "Aku melarang manusia melakukan tamattu, dan engkau sendiri melakukannya." Ali menjawab: "Aku tak akan meninggalkan sunnah Rasulullah saw. hanya karena pendapat seseorang." [9] Setelah perdebatan ini, menurut riwayat lain dari Abdullah bin Zubair, Utsman berkata: "Sesungguhnya laranganku itu hanya ra'yuku saja. Siapa yang mau boleh menjalankannya; siapa yang tak mau boleh meninggalkannya." [10]
Contoh lainnya adalah hukuman dera bagi peminum khamr. Rasulullah sawa. menderanya 40 kali. [11] Umar --atas saran Abd al-Rahman bin Auf menderanya 80 kali. Ali kembali menderanya 40 kali. Rasulullah sawa. menetapkan thalaq tiga dalam satu majlis itu dihitung satu. [12] Begitu pula Ali. Umar menetapkan thalaq tiga itu jatuh tiga sekaligus. Umar memutuskan hukuman rajam bagi orang gila yang berzina. Ali membebaskan hukum itu berdasarkan hadits. [13]
Bila contoh-contoh tadi berkenaan dengan perbedaan antara ketetapan nash dengan ra'yu, contoh-contoh berikut menunjukkan perbedaan memahami nash. Kata quru dalam wal muthalaqatu yatarabbashna bi anfusihim tsalatsatu quru' diartikan berbeda-beda. Abdullah bin Mas'ud dan Umar mengartikan "quru" itu haidh. Zaid ibn Tsabit mengartikannya masa bersuci di antara haidh dengan haidh lagi. [14] Ibn Umar menafsirkan al-muhshanat dalam ayat wa al muhshanat min alladzina utu al-kitab sebagai wanita Muslim, karena itu Ibn Umar mengharamkan wanita ahli kitab dinikahi laki-laki Muslim. Ibn 'Abbas menganggap ayat itu sebagai pengecualian (takhshish) dari ayat wa la tankihu al-musyrikat hatta yu'minna. Utsman tampaknya sependapat dengan Ibn 'Abbas, karena ia menikah dengan Nailah, wanita Nashrani, dan Thalhah menikahi wanita Yahudi dari Syam. [15]
Kadang-kadang ikhtilaf terjadi di antara para sahabat karena perbedaan pengetahuan yang mereka miliki. Sebagian sahabat, misalnya, mengetahui nash tertentu, sebagian lain tidak mengetahuinya. Umar pernah menegur orang yang dikiranya salah ketika membaca QS al-Fath: 26. Ia memarahi orang itu. Tetapi Umar kemudian dikoreksi Ubayy bin Ka'ab. Kata Ubayy : "Anda tahu saya berada di dalam beserta Rasulullah saw. ketika ia membaca ayat itu. Engkau sendiri berada di pintu... Demi Allah Ya Umar, sesungguhnya Anda tahu, ketika saya hadir Anda tidak ada; ketika saya diundang, Anda tidak." [16]
Al-Syaikh Muhammad Muhammad al-Madany menjelaskan salah satu sebab ikhtilaf yang berkenaan dengan sunnah: [17]
Sahabat Rasulullah saw., yang mengambil sunnah dari Nabi dan meriwayatkannya, berbeda-beda dalam kemampuan pengambilannya dan dalam menerima riwayatnya. Rasulullah saw. ditanya tentang suatu masalah. Ia menghukum dengan hukum tertentu memerintahkan atau melarang sesuatu, melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Yang hadir waktu itu dapat menyimpan peristiwa itu, yang tidak hadir tentu tidak mengetahuinya. Ketika Rasulullah saw. wafat, bertebaranlah sahabat di negeri-negeri, dan setiap penduduk negeri mengambil dari sahabat yang ada di negeri mereka.
Berkata Ibn Hazm: "Orang Madinah hadir pada tempat yang tidak dihadiri orang Basrah, orang Basrah menghadiri tempat yang tidak dihadiri orang Syam; orang Syam hadir ditempat yang tidak dihadiri orang Basrah; orang Basrah menghadiri yang tidak dihadiri orang Kufah; orang Kufah hadir di tempat yang tidak dihadiri orang Madinah."
Ini semua terjadi dalam hadits, dan pada saat kita memerlukan informasi. Padahal --seperti telah kita jelaskan--sebagian sahabat pada sebagian waktu tidak hadir di majelis Rasulullah saw., sedangkan sebagian lagi hadir. Setiap orang hanya mengetahui apa yang ia saksikan, dan tidak mengetahui apa yang tidak ia hadiri. Ini jelas menurut akal. 'Amar dan yang lain mengetahui tentang tayamum, Umar dan Ibn Mas'ud tidak mengetahuinya, sehingga mereka berkata: "Orang junub tidak tayamum, walau pun tidak menemukan air selama dua bulan."
Ali, Hudzaifah al-Yamani dan lain-lain mengetahui hukum mengusap tetapi 'Aisyah, Ibn 'Umar, Abu Hurairah tidak mengetahuinya walaupun mereka penduduk Madinah. Anak perempuan dari anak beserta anak perempuan mendapat waris diketahui Ibn Mas'ud tetapi tidak diketahui Abu Musa.
Marilah kita berikan satu contoh lagi yang lebih ilustratif. Ketika orang sedang berkumpul di hadapan Umar bin Khathab, masuklah seorang laki-laki: "Ya Amir al-mu'minin, ini Zaid bin Tsabit berfatwa di masjid dengan ra'yunya berkenaan dengan mandi janabah." Kata Umar: "Panggil dia!" Zaid pun datang dan Umar berkata: "Hai musuh dirinya sendiri!, aku dengar kau berfatwa pada manusia dengan ra'yumu sendiri?" Kata Zaid: "Ya Amir al- Mu'minin. Aku tidak melakukan itu. Tetapi aku mendengar hadits dari paman-pamanku, lalu aku sampaikan -- dan Abi Ayyub dari Ubbay bin Ka'ab, dari Rafa'ah bin Rafi'."
Kata Umar: "Panggil Rafa'ah bin Rafi'. Ia berkata: "Apakah kalian berbuat demikian - bila kalian bercampur dengan isteri kalian dan tidak keluar air mani, kalian mandi?" Kata Rafa'ah: "Kami melakukan begitu pada zaman Rasulullah saw. Tidak turun ayat yang mengharamkan. Tidak juga ada larangan dari Rasulullah saw." Kata Umar: "Apakah Rasulullah saw. mengetahuinya?" Kata Rafa'ah: "Tidak tahu." Lalu Umar mengumpulkan Muhajirin dan Anshar, lalu bermusyawarah.
Semua orang berkata tidak perlu mandi, kecuali Ali dan Mu'adz. Keduanya berkata: "Jika kedua khitan bertemu, wajib mandi." Kata Umar: "Kalian sahabat- sahabat yang ikut Badr sudah ikhtilaf, apalagi orang-orang setelah kalian!" Kata Ali, "Ya Amir al-Mu'minin, tidak ada orang yang lebih tahu dalam hal ini kecuali isteri Rasulullah saw." Ia mengutus orang bertanya pada Hafshah. Hafshah tidak tahu. 'Aisyah ditanya. Kata 'Aisyah: "Bila khitan sudah bertemu khitan, wajib mandi." Kata Umar: "Bila ada lagi orang berfatwa bahwa tidak wajib mandi kalau tidak keluar, aku akan pukul dia." [18]
Dalam kasus yang baru kita ceritakan, ikhtilaf di antara para sahabat dapat diselesaikan oleh khalifah. Khalifah bahkan menetapkan sangsi bagi orang yang mempunyai pendapat berbeda. Dalam kasus-kasus yang lain, ikhtilaf di antara para sahabat itu dibiarkan dan diwariskan kepada generasi berikutnya. Buat orang- orang sektarian, ikhtilaf para sahabat ini menjadi sumber perpecahan. Buat orang yang berjiwa terbuka, ikhtilaf ini adalah assets bagi perkembangan pemikiran.
'Umar bin Abd al-'Aziz, tokoh ukhuwah Islamiyah yang menghentikan kutukan pada Ali di mimbar, berkata: "Aku tidak senang kalau sahabat Nabi tidak ikhtilaf. Seandainya pendapat mereka itu tunggal, sempitlah manusia dibuatnya. Mereka adalah teladan yang diikuti. Jika kita mengambil dari siapa saja di antara mereka, jadilah itu sunnah. Artinya, mereka membuka pintu ijtihad bagi manusia. Mereka boleh ikhtilaf, karena bila mereka tidak membukanya, para mujtahid berada dalam kesempitan. Allah memberikan keluasan pada umat dengan adanya ikhtilaf furu'i diantara mereka. Dengan begitu, ia membuka umat untuk memasuki Rahmat-Nya." [19]