Imam Syafi'i
Beliau adalah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi' Al-Hasyimi Al-Qurosyi Al-Muttholibi,kunyah beliau adalah Abu Abdillah dan di nisbatkan pada (Syafi' bin Al-Saib) maka beliau di panggil dengan panggilan Al-Syafi'i kemudian nama panggilan ini terkenal sampai-sampai mengalahkan nama asli beliau. Nasab beliau kumpul dengan junjungan Nabi kita Muhammad SAW pada Abdu Manaf bin Qushoyyi.
Al-Syafi'I lahir di Guzzah di negara Syam pada tahun (150 H), sebenarnya Guzzah ini bukanlah tempat nenek moyang beliau akan tetapi saat itu ayah beliau Idris datang ke Guzzah bersama istrinya, dan akhirnya beliau pun meninggal di sini, kemudian lahirlah Al-Syafi'i di kota Guzzah ini. Setelah Al-Syafi'i berumur dua tahun ibu beliau khawatir akan keterasingan nasab beliau, kemudian beliau memutuskan untuk balik ke Makkah Al-Mukarromah tempat nenek moyang beliau. Imam Syafi'i lahir sebagai anak Yatim yang menjalani hidup dalam perawatan ibunya. Setelah Al-syafi'i mulai hidup di Makkah telah tiba untuk beliau masa-masa pendidikan, maka ibu beliau menyerahkan beliau kepada seorang guru supaya di didik tentang Al-Quran Al-Karim hingga akhirnya ibu beliau merasa tidak sanggup untuk membayar biaya pendidikan beliau maka Al-Syafi'i pun disuruh untuk tidak meneruskan pendidikan beliau. Akan tetapi ketika seorang pengajar mengajar anak yang kurang cerdas maka ketika itu Al-Syafii menangkap dengan cepat apa yang telah di ajarkan dari pengajar kemudin ketika pengajar tadi sudah meninggalkan tempatnya maka Al-Syafi'i pun mengajarkan apa yang telah di ajarkan dan yang telah dia hafal kepada anak-anak kecil yang lain, Dan setelah hal ini di ketahui oleh pengajar maka Al-Syafi'I pun di bebaskan dari biaya pendidikan oleh pengajarnya sampai beliau benar benar hafal Al-Qur'an ketika beliau umur tujuh tahun.
Setelah beliau berumur tujuh tahun dan sudah hafal Al-Qur’an beliau memutuskan untuk pergi ke Qobilah (Hudzail) daerah baduwi yang terkenal dengan kefashihannya dimasa itu, dan di sini beliau belajar ilmu lughot dan menghafal kan sya'ir-syair arab.
Setelah beliau merasa cukup dengan ilmu lughotnya maka beliau memutuskan untuk kembali ke Makkah Al-Mukarromah, kemudian beliau belajar ilmu Fiqh kepada mufti Makkah dimasa itu Muslim bin Kholid Al-Zanji, sampai akhirnya beliau diberi izin oleh guru beliau Muslim Al-Zanji untuk berfatwa ketika beliau berumur lima belas tahun.
Karena semangat beliau yang berkobar-kobar untuk menuntut ilmu maka beliau pun memutuskan untuk ke Madinah Al-Munawwaroh dan disini beliau menuntut ilmu kepada Imam Malik yang saat itu menjabat mufti Madinah Al-munawwaroh. Kemudian Al- Syafi'i membacakan Al Muwattho' yang telah beliau hafal dihadapan Imam Malik sampai akhirnya beliau sudah pada tingkatan Rijal, kemudian beliau memutuskan untuk mencari rizqi untuk kecukupan kehidupan beliau hinnga akhirnya beliau dibantu oleh Abdullah bin Al-Qurosyi mufti Yaman untuk mendapatkan pekerjaan.
Telah dirawatkan dari Al-Syafi'i bahwa beliau berkata " Aku mengalami kepailitan tiga kali, sampai-sampai aku telah menjual sedikit dan banyak dari apa yang telah aku miliki hingga perhiasan anak dan istriku ………."
Al-Syafi'i menikah dengan (Khamidah) binti Nafi' bin 'Ansah bin Amr bin Utsman bin Affan dan akhirnya beliau mempunyai anak Muhammad (menjabat Qodli dikota Madinah), Khalab, Fathimah dan Zainab.
Sanjungan para Ulama' kepada imam Syafi'i
Imam Syafi'i telah menempati tempat yang tinggi dalam bidang Fiqh dan beberapa ilmu yang lain, hingga banyak ulama' yang menyanjung beliau:
Sanjungan Imam Ahmad bin Hanbal atas Al-Syafi'i:
- Imam Ahmad bin Hanbal ketika di tanya oleh anak beliau kenapa sering kali menyanjung Imam Al-Syafi'i dan beliau pun menjawab " Al-Syafi'i untuk manusia itu bagaikan kesehatan untuk badan manusia, dan bagaikan matahari untuk dunia, maka pikirkanlah apakah kedua hal ini ada penggantinya?"
- Imam Ahmad berkata " Aku tidak mengetahui tentang yang menasih hadits dari mansuhnya sampai aku belajar pada Al-Syafi'i"
- Beliau berkata juga " Tidak ada seorangpun dari orang yang memiliki tinta dan kertas kecuali Al-Syafi'i memiliki ……….."
- Yahya bin Sa'd Al-Qotthon berkata " Aku tidak mengetahui yang lebih pandai dan cerdas dari Al-Syafi'I, dan aku slalu berdoa kepada Allah yang aku khususkan kepada beliau seorang didalam setiap sholat".
- Abdur Rahman bin Mahdi berkata " Ketika aku melihat (Al-Risalah) milik Al-Syafi'i yang telah mengherankan diriku, maka aku telah melihat perkataan dari seseorang yang cerdas dan fasih dan juga tulus hatinya, maka kemudian aku memperbanyak doa untuknya".
- Dan beliau berkata juga " Aku tidak akan sholat kecuali aku berdoa untuk Al-Syafi'i didalam sholat ini"
Guru-Guru Imam Imam Syafi'i
Imam Syafi'i telah menimba ilmu dari banyak ulama' besar, baik yang berada di Makkah Al-Mukarromah, Madinah Al-Munawwaronh, Yaman dan Iraq.
Guru-guru beliau yang dari Makkah Al-Mukarromah adalah sebagai berikut:
- Muslim bin Kholid Al-Qurosyiyyi Al-Zanji Imam penduduk Makkah, beliau asalnya dari Syam beliau mempunyai laqob Al-Zanji (kulit hitam atau negro) karena warna kulit beliau yang terlalu putih sampai kelihatan kemerah-merahan. Imam Al-Syafi'I menuntut ilmu pada beliau sebelum menuntut ilmu pada Imam Malik, beliau wafat pada tahun (179 H).
- Sufyan bin Uyainah bin Maimun Al-Hilali pakar hadits kota Makkah. Beliau adalah seorang yang buta, dan beliau telah haji tujuhpuluh kali, wafat pada tahun (198 H). Imam Syafi'I berkata " Jika tidak ada Malik dan Sufyan maka ilmu di Hijaz telah hilang".
- Sa'd bin Salim Al-Qodakh.
- Dawud bin Abdur Rohman Al-'Atthor.
- Abdul Hamid bin Abdul Aziz bin Abu Zuwad.
Guru-guru beliau yang dari Madinah Al-Munawwaroh adalah sebagai berikut:
- Imam Malik bin Anas bin Malik imamnya kota hijroh, wafat pada tahun (197 H).
- Ibrohim bin Sa'd Al-Anshori.
- Abdul Aziz bin Muhammad Al-Darowardi.
- Ibrohim bin Abu Yahya Al-Asami.
- Muhammad bin Sa'id bin Abu Fadik.
- Abdullah bin Nafi' Al-Shoigh.
Guru-guru beliau yang dari Yaman adalah sebagai berikut:
- Mathrof bin Mazin.
- Hisyam bin Yusuf Abu Abdir Rohman beliau adalah Qodli Sana'a, wafat pada tahun (197 H).
- Amr bin Abu Salamah (murid dari imam Al-Auza'i)
- Yahya bin Hassan (murid dari Imam Laits bin Sa'd)
Guru-guru beliau yang dari Iraq adalah sebagai berikut:
- Waki' bin Al-Jarokh bin Malikh Abu Sufyan pakar hadits kota Iraq dimasanya, wafat pada tahun (197 H).
- Khamad bin Usamah Al-Kufi Abu Usamah, wafat pada tahun (201 H).
- Isma'il bin Aliyyah Al-Bashri.
- Abdul Wahhab bin Abdul Majid Al-Bashri.
- Muhammad bin Al-Khasan Al-Syaibani (murid Imam Abu Hanifah).
Mereka semua adalah para guru-guru Imam Al-Syafi'I yang masyhur didalam ilmu Fiqh dan Fatwa, dari sini kita bisa ketahui bahwa Imam Syafi'I telah mengambil Fiqh dari banyak madzhab yang ada dimasa beliau, telah diketahui bahwa beliau mengambil fiqh Imam Malik, Fiqh Imam Al-Auza'i dari muridnya Amr bin Salamah, fiqh Imam Laits dari muridnya Yahya bin Hassan, dan juga mengambil Fiqh Imam Abu Hanifah dari muridnya Muhammad bin Al-Hassan. Maka dari ini semua terkumpulah pada diri imam Syafi'i Fiqh Makkah, Madinah, Iraq dan Mesir.
Dan Imam Syafi'I mempelajari fiqh dari beberapa madzhab ini dengan cara mengkritisi ,menyelidiki dan mencari pemahaman bukan dengan mencela dan menjadi pengikut. Maka setelah mempelajari ini semua imam Syafi'I mengambil apa yang harus di ambil menurut pemikiran beliau dan menolak apa yang harus ditolak menurut pemikiran beliau juga dengan dasar Al-Quran Al-Karim, Hadits, menjaga kemaslahatan dan mencegah kemafsadahan.
Murid-murid Imam Syafi'i:
Imam Syafi'I mempunyai beberapa murid yang telah mengambil fiqh dari beliau pada setiap periode dari tiga periode, yaitu di Makkah, Bagdad dan Mesir. Maka Imam Syafi'I mempunyai murid-murid yang telah bertemu beliau ketika di Makkah, juga murid yang telah bertemu beliau di Bagdad untuk kedua kalinya dan juga murid yang bertemu beliau pada akhir masa beliau di negara Mesir.
Murid-Murid Imam Syafi'I di Makkah Al-Mukarromah adalah sebagai berikut:
- Abu Bakar Abdullah bin Zubair Al-Asadi Al-Makky Al-Khamidy, beliau ini ikut pergi bersama imam Syafi'i dari Makkah Al-Mukarromah menuju ke Bagdad dan dari Bagdad menuju ke Mesir, dan beliau menetapi imam Syafi'i sampai imam Syafi'I wafat, kemudian beliau kembali ke Makkah Al-Mukarromah dan berfatwa untuk ahli Makkah sampai beliau wafat pada tahun ( 219 H) dan ada yang mengatakan pada tahun (220 H).
- Abu Al-Walid Musa bin Abu Al-Jarwud.
- Abu Ishaq Ibrohim bin Muhammad Al-Abbasi, wafat di Makkah Al-Mukarromah pada tahun (237 H).
Murid-Murid Imam Syafi'i di Bagdad Iraq adalah sebagai berikut:
- Abu Tsaur Al-Kalabi Ibrohim bin Kholid Al-Bagdadi wafat pada tahun (240 H) .
- Abu Ali Al-Khusain bin Ali Al-Karobisy, dipanggil dengan sebutan Al-Karobisy karena beliau adalah penjual Karobis (pakaian tebal), wafat pada tahun (245 H) dan ada yang mengatakan (256 H) .
- Abu Ali Al-Khusain bin Muhammad bin Al-Khusain Al-Za'farony dinisbatkan pada (Za'faronah) suatu desa dekat dengan kota Bagdad, wafat pada tahun (260 H) dan ada yang mengatakan (249 H) .
Murid-murid Imam Syafi'I di Mesir adalah sebagai berikut:
- Kharmalah bin Yahya bin Abdullah bin Kharmalah Al-Misry, wafat pada tahun (243 H) dan ada yang mengatakan (244 H) .
- Abu Ya'qub Yusuf bin Yahya Al-Qurosyy Al-Buwaithy, dinisbatkan pada (Buthi) sebuah desa didataran tinggi negara Mesir.Beliau ini adalah termasuk sebagian dari pembesar Ashhab Al-Syafi'i dan menjadi pengganti Imam Syafi'I setelah beliau wafat.
Imam Syafi’i berkata tentang Al-Buwaithy “ Tidak ada seorangpun yang lebih berhak dengan kedudukanku dibanding Abi Ya’qub, tidak ada seorang pun dari ashhabku yang lebih pandai daripada dia”. Beliau wafat dalam penjara pada tahun (232 H) dan ada yang mengatakan (231 H) .
- Abu Ibrohim Isma’il bin Yahya Al-Muzany Al-Mishry. Imam Syafi’i berkata tentang beliau “ Ketika dia melihat syetan dia akan mengalahkanya”, beliau wafat pada tahun (264 H) dan dimakamkan dekat dengan makam imam Syafi’i .
- Al-Robi’ bin Sulaiman bin Abdul Jabbar Al-Murody, seorang muadzin masjid Jami’ Mesir dan juga menjadi khodim Imam Syafi’i. Imam Syafi’i berkata “ Sesungguhnya dia itu paling kuat hafalanya diantara Ashabku, manusia dari beberapa penjuru bumi pergi menuju dia untuk mengambil ilmu Al-Syafi’i dan riwayat kitabnya”. Ketika diucapkan Al-Robi’ dalam kitab-kitab Al-Syafi’iyyah maka yang diharapkan adalah Al-Robi’ Al-Murody, wafat pada tahun (270 H) .
- Al-Robi’ bin Sulaiman bin Dawud Al-Jizy dinisbatkan dari (Jizah), beliau sedikit meriwayatkan dari imam Syafi’i, wafat pada tahun (256 H) .
Sebagian orang yang menimba ilmu dari imam Syafi’i dan tidak menjadi pengikut madzhab beliau adalah Imam Ahmad bin hanbal.
Kepercayaan pada Allah SWT, beragama dan Tawadlu’nya Imam Syafi’i
Para Ulama’ menyebutkan bahwasanya Imam Syafi’I ketika datang ke Mesir menghadaplah kepada beliau Al-Robi’ Al-Murody dan memberi nasihat supaya beliau dapat kedudukan dihadapan Hakim dan beliau akan kelihatan mulia dihadapan manusia, dan menyimpan makanan untuk setahun didalam rumahnya. Tapi Imam Syafi’I pun menolak sambil berkata “ Hai Robi’ seseorang yang dirinya tidak di agungkan pleh ketaqwaan maka tidak ada keagungan untuknya, Aku telah dilahirkan di Guzzah dan aku dirawat di Hijaz dan aku tidak mempunyai makanan pada waktu malam………………..
Perkataan ini menunjukan atas kepercayaan beliau yang mutlak pada Allah SWT, dan diriwayatkan bahwasanya beliau berkata “ Ketika aku tidak melihat seseorang, maka aku suka ketika dia salah, tidak ada dalam hatiku dari ilmu kecuali aku bimbang bahwa ketika dia dihadapan setiap orang dan tidak menisbatkan kepada diriku.”
Fiqh Imam Syafi’i
Imam Syafi’I tidak mengarah pada pembuatan madzhab yang independen atau ikut beberapa pendapat fiqh yang independen dari beberapa pendapat Imam malik, sampai akhirnya ketika beliau pergi menuju Bagdad untuk yang pertama kalinya beliau menerima itu semua, dan dimasa itu beliau di anggap dari Ashab Imam Malik yang selalu menjaga beberapa pendapat beliau dan melawan mereka para Ahli Al-Ro’yu untuk menjaga Fiqh Madinah, hingga beliau di sebut dengan sebutan Nashiru Al-Hadits (Penyelamat Hadits).
Dan setelah cukup lama beliau menetap di Bagdad, kemudian beliau memutuskan untuk mempelajari kitab-kitabnya Muhammad bin Al-Hassan murid dari imam Abu Hanifah, kemudian beliau mendebat dan mengkritik para Ahlu Al-Ro’yi, setelah ini semua maka beliau merasa bahwasanya beliau harus keluar untuk para manusia dengan kompisisi atau campuran dari fiqh Ahli Iraq dan fiqh ahli madinah. dan beliau pun mengarah pada mempelajari pendapat-pendapat Imam Malik dengan pelajaran pengkritikan dan penyelidikan bukan pelajaran kefanatikan dan penyelamatan, dan mungkin perdebatan dari pendapat Imam Malik dan ketika mengalahkan kefanatikan maka akan menunjukan beberapa kekurangan. Seperti terjadinya beberapa keunggulan dan kekurangan fiqh ahli Iraq menurut pandangan beliau dalam pengkritikan dan pembelajaran beliau maka saat ini diharuskan ada pemikiran dan pengarahan penbaharuan. Maka sesungguhnya munaqosyah dalam furu’ dah pengarahanya pada mengetahui Ushulnya dan membahas batas-batas dan ukuran maka Syafi’i pun keluar dari Bagdad dan mencetuskan garis-garis pembaharuan.
Pembagaian masa imam Syafi’I dalam pembuatan pendapat-pendapat beliau dalam tiga masa:
- Di Makkah Al-Mukarromah.
- Di Madinah Al-Munawwaroh.
- Di Mesir.
Dan pada setiap masa ini munculah murid-murid Imam Syafi’I yang belajar dari beliau dan mensyiarkan madzhab beliau di masanya.
Imam Syaf’I menetap di kota Makkah Al-Mukarromah setelah beliau dari Bagdad yang pertama dalam jangka sekitar sembilan tahun. Dan disini beliau merasa paling semangat di masa-masa penuntutan ilmu, dikarnakan di masa ini beliau banyak memperhatikan beberapa pendapat para ulama’-ulama’ besar dimasa itu.
Beberapa Istilah Fiqh khusus dalam Madzhab Syafi’iyah
Imam Syafi’I menggunakan lafadz (Fardlu) untuk makna sesuatu yang wajib atau yang diharuskan untuk melaksanakanya. Seperti juga beliau menggunakan kata (Muharrom atau Harom) untuk sesuatu yang harus ditinggalkan dan pada sesuatu yang menjadi kebalikan Fadlu.
Beliau menggunakan kata (Karohah) untuk arti sesuatu yang dianggap bagus untuk dilaksanakan semisal : diriwayatkan bahwasanya sesungguhnya nabi Muhammad SAW berkata “ Bumi itu masjid kecuali kuburan dan toilet ” disini Imam Syafi’i memberi illat bahwasanya sesungguhnya kuburan dan toilet itu tidak suci, kemudian berkata kuburan adalah tempat yang dibuat mengubur masyarakat umum, ini seperti pasir yang bercampur dengan para mayat. Adapun (shohro’) sahara atau padang pasir yang tidak pernah dibuat mengubur sama sekali kemudian dibuat mengubur suatu kaum yang telah mati kemudian tidak menggerakkan kuburan tadi maka ketika ada seseorang sholat pada kuburan tadi atau pada atasnya maka Imam Syafi’I menghukumi makruh dan tidak menyuruh untuk mengulang sholatnya dikarnakan diketahui bahwa pasir itu suci dan tidak bercampur dengan sesuatu apapun” .
Seperti beliau juga menggunakan kata (Uhibbu) untuk arti sesuatu yang bagus untuk dilaksanakan, akan tetapi tidak sampai tahap wajib, semisal perkataan Imam Syafi’i tentang pelepasan anjing atau burung yang sudah jinak, Imam Syafi’i berkata “ketika seorang lelaki muslim melepas anjing atau burungnya yang sudah jinak aku menyukai untuk dia membaca basmalah, maka ketika dia lupa tidak membaca basmalah kemudian anjing atau burung tadi membunuh buruannya maka untuk dia boleh memakanya dikarenakan orang muslim yang menyembelih itu atas nama Allah SWT meskipun dia lupa” .
Dan Imam Syafi’i berkata “Dan aku menyukai pada sembelihan supaya menghadap kearah qiblat ketika hal itu memungkinkan, dan ketika penyembelih tidak melaksanakannya, maka dia telah meninggalkan sesuatu yang aku menyukainya dan itu tidak mengharamkan pada yang disembelih”. Al-Robi’ meriwayatkan “ Aku bertanya kepada Al-Syafi’i; Apakah anda membaca Ummul Qu’an dibelakang imam pada rokaat akhir secara pelan? Maka Imam Syafi’I menjawab: Aku suka itu dan tidak mewajibkan atas hal itu” .
Dan kata (Akrohu) menurut Imam Syafi’I yang telah diterangkan di atas kadang juga menggunakan istilah (Lam Uhibbu) .
Imam Syafi’I menggunakan istilah (La Ba’sa) untuk sesuatu yang diperbolehkan tanpa kemakruhan dan kesunatan. Semisal imam syafi’i berkata tentang zakat fitri “ Tidak apa ketika melaksanakan zakat fitrah dan mengambilnya ketika dibutuhkan dan selainnya dari shodaqoh yang diwajibkan dan yang lainya” . Dan beliau berkata “ seseorang yang menjual barang dari beberapa barangnya sampai pada masa dari beberapa masanya, dan pembeli telah menerimanya maka tidak apa ketika dia menjualnya pada orang yang membelinya dengan harga yang lebih rendah atau lebih tinggi, baik dengan hutang atau kontan dikarenakan barang yang di jual itu bukanlah barang yang telah di jual pertama kali” .
Seperti juga beliau menggunakan kata (Ja’iz) untuk arti boleh tanpa ada kemakruhan atau kesunatan .
Seperti beliau juga menggunakan istilah (La Khoiro fihi) untuk sesuatu yang diharamkan dalam artian tidak di perbolehkan .
Dasar-dasar dalil fiqh pada madzhab Syafi’iyyah
Sebenarnya dasar-dasar dalil syar’i yang di buat sandaran Imam Syafi’I itu terbatas pada empat:
- Al-Qur’an Al-Karim
- Al-Sunnah Al-Nabawiyyah
- Ijma’ Ulama’
- Qiyas
Dan telah tersebar madzhab Syafi’iyyah pada Negara Hijaz, Iraq, Mesir, Syam dan yang lainya. Dan Imam Syafi’I sendiri yang menyebarkannya pada Negara Hijaz, Iraq, Mesir dengan mengajarkannya dan menyebarkan kitab-kitab karangan beliau dan setelah itu para murid beliau lah yang bertanggung jawab setelah beliau wafat dengan mengajarkan kepada para pengikutnya.
Istilah-istilah nama atau sebutan dalam madzhab Syafi’iyyah
- (Al-Imam) yang diharapkan adalah Imam Al-Haromain Al-Juwainy. Beliau adalah Abdul Malik bin Abdillah bin Yusuf pengarang kitab Al-Nihayah, Al-Burhan dan yang lainnya, wafat pada tahun (478 H) .
- (Al-Qodli) yang di harapkan adalah Al-Qodli Husain Abu Ali Muhammad bin Ahmad Al-Marwazy, sebagian dari karangannya adalah kitab Syarkhu Talkhisi ibni Al-Qodli dan kitab Syarkhun ‘Ala Furu’i ibni Al-Khaddad, wafat pada tahun (462 H) .
- (Al-Qodliyani) yang di harapkan adalah:
1- Ali bin Muhammad bin Habib Al-Mawardy pengarang kitab Al-Khawy dan kitab Al-Ahkam Al-Shulthoniyyah dan yang lainya, wafat pada tahun (450 H) .
2 – Abdul Wahid bin Isma’il bin Ahmad Al-Ruyany, wafat pada tahun (501 H) .
- (Al-Syaikhoni) yang di harapkan adalah:
1- Abdul Karim Muhammad bin Abdul Karim Al-Rofi’i Abu Al-Qosim Al-Quzwainy pengarang kitab Al-Aziz Syarkhu Al-Wajiz, wafat pada tahun (634 H) .
2- Yahya bin Syarof Abu Zakariyya Al-Nawawi, beliau memiliki banyak karangan yang di antaranya adalah kitab Al-Roudloh, Syarhu Muslim dan Al-Tahqiq, wafat pada tahun (677 H) umur beliau sekitar empat puluh lima tahun .
- (Al-Syuyuh) yang diharapkan adalah Imam Nawawi, Imam Rofi’I dan Imam Al-Shubki yaitu Taqiyyuddin Ali bin Abdul Kafi Al-Shubki Syaihul Islam di masanya, wafat pada tahun (756 H) .
- (Al-Syarih) ketika di ucapkan menggunakan Al (Al-Syarih) atau (Al-Syarih Al-Muhaqqiq) maka yang di harapkan adalah Jalaluddin Al-Makhally Muhammad bin Ahmad bin Ibrohim yang mensyarahi kitab Al-Minhaj karangan imam Nawawi, dan beliau juga mempunyai beberapa karangan yang sangat bermanfaat, wafat pada tahun (874 H).
Akan tetapi dalam kitab (Syarkhu Al-Irsyad) kitab karangan Al-Maziyyi, ketika di ucapkan (Al-Syarih) maka yang di harapkan adalah Al-Jaujary beliau adalah Muhammad bin Abdul Mun’im Al-Qohiry Syamsuddin, sebagian dari peninggalan beliau adalah Syarhu Al-Irsyad, Tashilu Al-Masalik Ila Umdati Al-Salik Li Ibni Al-Naqib, wafat pada tahun (889 H).
- (Syarih) ketika diucapkan istilah Syarih tanpa menggunakn Al maka yang diharapkan adalah salah satu dari pensyarah untuk kitab manapun yang ada, ini tidak ada bedanya baik yang ada pada kitab (Tuhfatu Al-Muhtaj) atau yang lainnya, berbeda pendapat dengan orang yang megatakan bahwasanya yang di harapkan adalah -Syuhbah-.
- (Syaihuna, Al-Syaih atau Syaihu Al-Islam) yang diharapkan adalah Zakariyya bin Muhammad bin Ahmad Al-Anshory beliau mempunyai beberapa karangan yang menunjukkan keutamaannya, wafat pada tahun (926 H) .
- (Syaihi) ketika yang mengucapkan istilah ini adalah Al-Khotib Al-Syirbini maka yang di harapkan adalah Al-Syihab Ahmad bin Ahmad Al-Romly, wafat pada tahun (971 H). Ini adalah yang di harapkan Al-jamal Al-Romli dengan ucapan “ Orang tuaku telah berifta’ dengan ini dan sebagainya” .
- ketika Imam Al-Syairozi dalam kitab (Al-Muhaddzab) menggunakan istilah (Abu Al-Abbas) maka yang di harapkan adalah Ahmad bin Suraij Al-Bagdady Syaihu Al-Syafi’iyyah di masanya, wafat di Bagdad pada tahun (306 H) umur beliau limapuluh tahun lebih enam bulan . Dan ketika Al-Syairozi mengharapkan Abu Al-Abbas bin Al-Qodli maka beliau akan memberi catatan tersendiri.
Ketika menggunakan istilah (Ibnu Al-Qosh) maka yang di harapkan adalah Ahmad Al-Thobary beliau belajar fiqh dari Ibnu Suraij, wafat pada tahun (335 H). Al-Qosh adalah seseorang yang menganjurkan untuk menyebutkan beberapa kisah.
Ketika Imam Al-Syairozi menggunakan istilah (Abu Ishaq) dalam kitab Al-Muhaddzab maka yang di harapkan adalah Al-Marwazy Ibrohim bin Ahmad murid dari Ibnu Suraij, wafat pada tahun (340 H) , imam Nawawi berkata “ Imam Syairozi tidak menyebutkan Abu Ishaq Al-Isfiroyiny dalam kitab Al-Muhaddzab “.
Ketika Imam Syairozi menggunakan istilah (Abu Sa’id) dalam kitab Al-Muhaddzab maka yang di harapkan adalah Al-Isthohry Abu Sa’id Al-Hasan bin Ahmad, wafat pada tahun (328 H), beliau dan Ibnu Suraij adalah Syaihu Al-Syafi’iyyah di negara Bagdad .
Imam Nawawi berkata “ imam Al-Syairozi tidak menyebutkan Abu Sa’id dari ahli fiqh selain beliau”.
- (Abu Hamid) istilah ini di gunakan dalam kitab Al-Muhaddzab untuk dua orang :
1- Al-Qodli Abu Hamid Al-Marwazy Ahmad bin Basyar bin Amir, wafat pada tahun (362 H).
2- Syeih Abu Hamid Al-Isfiroyiny Ahmad bin Muhammad, wafat pada tahun (406 H).
Imam Nawawi berkata setelah menyebut beliau berdua “…akan tetapi beliau berdua di sebut dengan catatan Al-Qodli dan Al-Syaih maka tidak akan ada keserupaan, pada kitab Muhaddzab tidak ada Abu Hamid selain beliau berdua tidak dari Ashab kita dan tidak dari yang lainnya”.
- (Abu Al-Qosim) di gunakan dalam kitab Al-Muhaddzab dan yang di harapkan adalah empat Imam yaitu: Al-Anmathy, Al-Daroky, Ibnu Kajjin dan Al-shoimary. Tidak di temukan dalam kitab Al-Muhaddzab istilah Abu Al-Qoshim selain beliau empat ini.
- (Abu Al-Thoyyib) dalam kitab Al-Muhaddzab yang di harapkan adalah dua imam dari ahli fiqh Syafi’iyyah yaitu: Ibnu Salamah dan Al-Qodli Abu Al-Thoyyib guru dari imam Syairozi. Dan beliau berdua ini di sebut dengan di sifati .
- Ketika dalam kitab Al-Muhaddzab menyebutkan istilah (Al-Robi’ min Ashabina) maka yang di harapkan adalah Al-Robi’ bin Sulaiman Al-Murody murid dari Imam Syafi’I, di dalam kitab Al-Muhaddzab tidak ada Al-Robi’ selain beliau, tidak dari kalangan fuqoha’ atau yang lain kecuali pada masalah penyamakan kulit apakah bulunya suci? Ini yang di harapkan adalah Al-Robi’ bin Sulaiman Al-Jiyi.
- Imam Nawawi berkata “ ketika aku mengucapkan kata (Ana) pada Al-Syarhu, Dzikri dan Al-Qoffal maka yang aku maksud adalah Al-Marwazy, dikarnakan beliau yang paling masyhur pada pemindahan (naqlu) madzhab………….Adapun Al-Syasyi penyebutan beliau sedikit kalau di banding Al-Marwazy di dalam madzhab. Maka ketika yang aku harapkan adalah Al-syasi maka aku akan memberi catatan.
- (Al-Muhammadun Al-Arbaah) beliau adalah:
1- Muhammad bin Nashr Abu Abdillah Al-Marwazy, wafat pada tahun (294 H).
2- Muhammad bin Ibrohim bin Al-Mundzir, wafat pada tahun (309 H) atau (310 H).
3- Muhammad bin Jarir Al-Thobary, wafat pada tahun (310 H).
4- Muhammad bin Ishaq bin Khozimah, wafat pada tahun (311 H).
Beliau empat ini telah sampai pada tingkatan mujtahid mutlaq, beliau meskipun keluar dari pendapat Imam Syafi’i dalam beberapa masalah tapi secara keseluruhan beliau-beliau ini tidak keluar dari pendapat Imam Syafi’i secara keseluruhan, maka beliau-beliau ini tetap di anggap sebagai Syafi’iyyah dan dari ushul mereka dikeluarkan.
- (Al-Ashab) yang di harapkan adalah beliau-beliau para pendahulu Syafi’iyyah, beliau adalah para Ashabul Aujuh secara keseluruhan, kalau di batasi dengan hitungan masa, beliau ini adalah para Syafi’iyyah yang muncul dari empat ratusan, dan untuk beliau di gunakan istilah Al-Mutaqoddimun karma dekatnya beliau dengan qurun waktu yang di saksikan dengan keberhasilan.
(Tanbih)
Perkataan Imam Al-Rozi dengan kata (Al-Ashab) ini membingungkan, karma kami tidak mengetahui apa yang di harapkan dari Imam Al-Rozi, apakah beliau mengharapkan Al-Syafi’iyyah atau Asya’iroh? Ini di karenakan Imam Al-Rozi sendiri adalah pengikut Syafi’iyyah juga pengikut Asya’iroh. Maka semua ini tidak akan menjadi jelas kecuali ketika Imam Al-Rozi menjelaskan apa yang di harapkan di dalam kitab beliau, atau beliau berpendapat pada masalah fiqh murni maka bisa di ketahui bahwa yang beliau harapkan adalah Al-Syafi’iiyah atau pada masalah aqidah murni maka yang di maksud adalah Asya’iroh. Adapun ketika masalahnya adalah masalah fiqh yang ada sangkut paut dengan ilmu kalam akan susah untuk menentukannya.
- (Al-Mutaahhirun) yang di harapkan adalah mereka para ulama’ Syafi’iyyah setelah qurun keempat, atau bisa di katakan mereka adalah para ulama’ Syafi’iyyah yang datang setelah Imam Nawawi dan Imam Rofi’i.
Kitab-kitab yang di bukukan dalam madzhab Syafi’iyyah
Para ulama’ telah sepakat bahwa kitab-kitab yang dikarang oleh imam Syafi’i dalam ilmu Fiqh itu ada empat kitab : Al-Umm, Al-Imla’, Muhtashoru Al-Buwaity dan Muhtashoru Al-Muzanny. Dan yang di harapkan disini adalah bahwasanya kitab-kitab yang di tulis oleh imam Al-Buwaity dan imam Al-Muzanni dinisbatkan kepada imam Syafi’i tetapi cuma dalam maknanya saja.
Kemudian kitab empat ini di ringkas oleh imam Al-Haromain Al-Juwainy pada karangan beliau yang diberi nama Al-Nihayah , keterangan yang kita sampaikan ini cocok dengan apa yang telah di jelaskan oleh ulama’ mutaahhirun. Akan tetapi kalau kita mengambil pendapatnya Al-Babily dan Ibnu Hajar beliau mengatakan bahwasanya kitab Al-Nihayah adalah Syarah dari kitab Muhtashoru Al-Muzanny dan kitab ini adalah kitab ringaksan dari kitab Al-Umm.
Kemudian setelah itu datanglah imam Al-Ghozaly dengan kitab beliau Al-Bashit, dimana kitab ini adalah ringkasan dari kitab Al-Nihayah, setelah itu beliau meringkas kitab Al-Bashit menjadi kitab Al-Wasith kemudian Al-Wasith di ringkas lagi oleh beliau menjadi kitab Al-Wajiz , dan sampai akhirnya kitab Al-Wajiz di ringkas oleh beliau menjadi Al-Khulashoh.
Setelah itu datanglah imam Al-Rofi’i yang meringkas kitab karangan imam Ghozali yang Al-Wajiz dalam kitab beliau yang diberi nama Al-Mukharror, akan tetapi ada keterangan sedikit di kitab Al-Tuhfah yang menjelaskan bahwasanya kitab Al-Muharror disebut Muhtashor (ringkasan) itu disebabkan sedikit lafadlnya (ringkas), bukan karna ini ringkasan dari Al-Wajiz.
Setelah itu imam Nawawy meringkas kitab Al-Muharror pada kitab beliau yang diberi nama Al-Minhaj, kemudian kitab Al-Minhaj ini di ringkas oleh imam Zakariyya Al-Anshory menjadi kitab Al-Manhaj. Kitab Al-Manhaj pun diringkas oleh imam Al-Jauhri menjadi kitab Al-Nahj.
Selain imam Rofi’i membuat ringkasan dari kitab Al-Wajiz beliau juga mengarang syarah dari kitab Al-Wajiz menjadi dua kitab, yang satu kitabnya agak kecil dan beliau tidak memberi nama pada kitab ini dan yang satunya agak besar yang beliau beri nama Al-Aziz.
Dari kitab Al-aziz ini imam Nawawi meringkasnya menjadi kitab Al-Roudloh, kemudian kitab Al-Roudloh diringkas oleh imam Ibnu Muqri menjadi kitab Al-Roudl, kemudian kitab Al-Roudl ini di syarahi oleh imam Zakariyya Al-Anshori dalam kitab beliau yang diberi nama Al-Asna.
Selain kitab Al-Roudl di syarahi oleh imam Zakariyya Al-Anshori kitab ini juga di ringkas oleh imam Ibnu Hajar yang diberi nama Al-Na’im. kitab ini sangat bagus sekali akan tetapi keberadaan kitab ini sudah tidak muncul di masa imam Ibnu Hajar masih hidup.
Kitab Al-Roudloh karangan imam Nawawi juga di ringkas oleh imam Ahmad bin Umar Al-Muzajjad Al-Zabidy yang diberi nama Al-Ubab, kemudian kitab ini di syarahi oleh imam Ibnu Hajar dalam kitabnya Al-I’ab, akan tetapi kitab Al-I’ab ini belum sampai selesai.
Kitab Al-Roudloh selain diringkas menjadi Al-Ubab juga di ringkas oleh imam Al-Suyuti menjadi kitab Al-Ghoniyyah, beliau juga membuat nadlomanya yang beliau beri nama Al-Khulashoh akan tetapi kitab nadloman ini belum sampai selesai.
Imam Al-Quzwainy juga mengarang ringkasan dari kitab Al-Aziz yang beliau beri nama Al-Khawi Al-Shoghir, kemudian kitab ini dinadlomkan oleh imam Al-Wardy dalam kitab Buhjahnya. Kemudian kitab nadloman Al-Buhjah disyarahi oleh imam Zakariyya Al-Anshori dengan dua kitab syarah.
Setelah itu Ibnu Al-Muqri membuat kitab ringkasan dari Al-Khawi Al-Shoghir menjadi kitab Al-Irsyad, dan kitab ini kemudian disyarahi oleh imam Ibnu Hajar dengan dua kitab syarah.
Imam Ibnu Hajar berkata “Setelah imam Nawawi membuat karangan Al-Roudloh “Datanglah beberapa ulama’ mutaahhirun (Ulama setelah kurun imam Nawawi) dan mereka berbeda-beda tujuan atas kitab-kitab yang telah ada, sebagian ada yang membuat karangan khasiyah (catatan pinggir) dan banyak ulama yang mempunyai gaya seperti ini, dan karangannya pun menjadi karangan yang besar-besar seperti contoh khasyiyahnya imam Al-Adzro’i yang beliau kasih nama Al-Mutawassit Baina Al-Roudloh wa Al-Syarhi, kitab ini berjumlah lebih dari tiga puluh kitab. Begitu juga imam Al-Asnawy, imam Ibnu Al-‘Ammad dan imam Al-Bulqiny beliau-beliau ini adalah para jagoan dari ulama’ mutaahhirin dengan tempatnya yang berkilau.
Setelah kurun ini datanglah imam Al-Zarkasyi, beliau adalah murid dari imam empat diatas (imam Al-Adzro’i, imam Al-Asnawy, imam Ibnu Al-‘Ammad dan imam Al-Bulqiny), beliau membuat karangan yang menjadi kumpulan dari ringkasan khawasi guru-guru beliau yang diberi nama Khodimu Al-Roudloh.
Setelah kita mengetahui bahwasanya kitab-kitab dalam madzhab Syafi’iyyah selalu berkaitan satu dengan yang lain, ini seperti apa yang dikatakan oleh Dr.Muhammad Ibrohim Ali menjadikan ketenangan pada hati kita dan suatu kekaguman pada pembenaran kitab-kitab ini beserta pengarangnya pada madzhab Syafi’iyyah .
cukup sampai segini dulu semoga bermanfa'at bagi penulis dan tentunya bagi orang lain amin.
Daftar pustaka :
1.Al fathu al mubin fi ta'tifi mustalakhat al fuqoha wa al usuliyin oleh : prof.dr.muahammad ibrohim al khafnawy
Baca Selengkapnya...
Beliau adalah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi' Al-Hasyimi Al-Qurosyi Al-Muttholibi,kunyah beliau adalah Abu Abdillah dan di nisbatkan pada (Syafi' bin Al-Saib) maka beliau di panggil dengan panggilan Al-Syafi'i kemudian nama panggilan ini terkenal sampai-sampai mengalahkan nama asli beliau. Nasab beliau kumpul dengan junjungan Nabi kita Muhammad SAW pada Abdu Manaf bin Qushoyyi.
Al-Syafi'I lahir di Guzzah di negara Syam pada tahun (150 H), sebenarnya Guzzah ini bukanlah tempat nenek moyang beliau akan tetapi saat itu ayah beliau Idris datang ke Guzzah bersama istrinya, dan akhirnya beliau pun meninggal di sini, kemudian lahirlah Al-Syafi'i di kota Guzzah ini. Setelah Al-Syafi'i berumur dua tahun ibu beliau khawatir akan keterasingan nasab beliau, kemudian beliau memutuskan untuk balik ke Makkah Al-Mukarromah tempat nenek moyang beliau. Imam Syafi'i lahir sebagai anak Yatim yang menjalani hidup dalam perawatan ibunya. Setelah Al-syafi'i mulai hidup di Makkah telah tiba untuk beliau masa-masa pendidikan, maka ibu beliau menyerahkan beliau kepada seorang guru supaya di didik tentang Al-Quran Al-Karim hingga akhirnya ibu beliau merasa tidak sanggup untuk membayar biaya pendidikan beliau maka Al-Syafi'i pun disuruh untuk tidak meneruskan pendidikan beliau. Akan tetapi ketika seorang pengajar mengajar anak yang kurang cerdas maka ketika itu Al-Syafii menangkap dengan cepat apa yang telah di ajarkan dari pengajar kemudin ketika pengajar tadi sudah meninggalkan tempatnya maka Al-Syafi'i pun mengajarkan apa yang telah di ajarkan dan yang telah dia hafal kepada anak-anak kecil yang lain, Dan setelah hal ini di ketahui oleh pengajar maka Al-Syafi'I pun di bebaskan dari biaya pendidikan oleh pengajarnya sampai beliau benar benar hafal Al-Qur'an ketika beliau umur tujuh tahun.
Setelah beliau berumur tujuh tahun dan sudah hafal Al-Qur’an beliau memutuskan untuk pergi ke Qobilah (Hudzail) daerah baduwi yang terkenal dengan kefashihannya dimasa itu, dan di sini beliau belajar ilmu lughot dan menghafal kan sya'ir-syair arab.
Setelah beliau merasa cukup dengan ilmu lughotnya maka beliau memutuskan untuk kembali ke Makkah Al-Mukarromah, kemudian beliau belajar ilmu Fiqh kepada mufti Makkah dimasa itu Muslim bin Kholid Al-Zanji, sampai akhirnya beliau diberi izin oleh guru beliau Muslim Al-Zanji untuk berfatwa ketika beliau berumur lima belas tahun.
Karena semangat beliau yang berkobar-kobar untuk menuntut ilmu maka beliau pun memutuskan untuk ke Madinah Al-Munawwaroh dan disini beliau menuntut ilmu kepada Imam Malik yang saat itu menjabat mufti Madinah Al-munawwaroh. Kemudian Al- Syafi'i membacakan Al Muwattho' yang telah beliau hafal dihadapan Imam Malik sampai akhirnya beliau sudah pada tingkatan Rijal, kemudian beliau memutuskan untuk mencari rizqi untuk kecukupan kehidupan beliau hinnga akhirnya beliau dibantu oleh Abdullah bin Al-Qurosyi mufti Yaman untuk mendapatkan pekerjaan.
Telah dirawatkan dari Al-Syafi'i bahwa beliau berkata " Aku mengalami kepailitan tiga kali, sampai-sampai aku telah menjual sedikit dan banyak dari apa yang telah aku miliki hingga perhiasan anak dan istriku ………."
Al-Syafi'i menikah dengan (Khamidah) binti Nafi' bin 'Ansah bin Amr bin Utsman bin Affan dan akhirnya beliau mempunyai anak Muhammad (menjabat Qodli dikota Madinah), Khalab, Fathimah dan Zainab.
Sanjungan para Ulama' kepada imam Syafi'i
Imam Syafi'i telah menempati tempat yang tinggi dalam bidang Fiqh dan beberapa ilmu yang lain, hingga banyak ulama' yang menyanjung beliau:
Sanjungan Imam Ahmad bin Hanbal atas Al-Syafi'i:
- Imam Ahmad bin Hanbal ketika di tanya oleh anak beliau kenapa sering kali menyanjung Imam Al-Syafi'i dan beliau pun menjawab " Al-Syafi'i untuk manusia itu bagaikan kesehatan untuk badan manusia, dan bagaikan matahari untuk dunia, maka pikirkanlah apakah kedua hal ini ada penggantinya?"
- Imam Ahmad berkata " Aku tidak mengetahui tentang yang menasih hadits dari mansuhnya sampai aku belajar pada Al-Syafi'i"
- Beliau berkata juga " Tidak ada seorangpun dari orang yang memiliki tinta dan kertas kecuali Al-Syafi'i memiliki ……….."
- Yahya bin Sa'd Al-Qotthon berkata " Aku tidak mengetahui yang lebih pandai dan cerdas dari Al-Syafi'I, dan aku slalu berdoa kepada Allah yang aku khususkan kepada beliau seorang didalam setiap sholat".
- Abdur Rahman bin Mahdi berkata " Ketika aku melihat (Al-Risalah) milik Al-Syafi'i yang telah mengherankan diriku, maka aku telah melihat perkataan dari seseorang yang cerdas dan fasih dan juga tulus hatinya, maka kemudian aku memperbanyak doa untuknya".
- Dan beliau berkata juga " Aku tidak akan sholat kecuali aku berdoa untuk Al-Syafi'i didalam sholat ini"
Guru-Guru Imam Imam Syafi'i
Imam Syafi'i telah menimba ilmu dari banyak ulama' besar, baik yang berada di Makkah Al-Mukarromah, Madinah Al-Munawwaronh, Yaman dan Iraq.
Guru-guru beliau yang dari Makkah Al-Mukarromah adalah sebagai berikut:
- Muslim bin Kholid Al-Qurosyiyyi Al-Zanji Imam penduduk Makkah, beliau asalnya dari Syam beliau mempunyai laqob Al-Zanji (kulit hitam atau negro) karena warna kulit beliau yang terlalu putih sampai kelihatan kemerah-merahan. Imam Al-Syafi'I menuntut ilmu pada beliau sebelum menuntut ilmu pada Imam Malik, beliau wafat pada tahun (179 H).
- Sufyan bin Uyainah bin Maimun Al-Hilali pakar hadits kota Makkah. Beliau adalah seorang yang buta, dan beliau telah haji tujuhpuluh kali, wafat pada tahun (198 H). Imam Syafi'I berkata " Jika tidak ada Malik dan Sufyan maka ilmu di Hijaz telah hilang".
- Sa'd bin Salim Al-Qodakh.
- Dawud bin Abdur Rohman Al-'Atthor.
- Abdul Hamid bin Abdul Aziz bin Abu Zuwad.
Guru-guru beliau yang dari Madinah Al-Munawwaroh adalah sebagai berikut:
- Imam Malik bin Anas bin Malik imamnya kota hijroh, wafat pada tahun (197 H).
- Ibrohim bin Sa'd Al-Anshori.
- Abdul Aziz bin Muhammad Al-Darowardi.
- Ibrohim bin Abu Yahya Al-Asami.
- Muhammad bin Sa'id bin Abu Fadik.
- Abdullah bin Nafi' Al-Shoigh.
Guru-guru beliau yang dari Yaman adalah sebagai berikut:
- Mathrof bin Mazin.
- Hisyam bin Yusuf Abu Abdir Rohman beliau adalah Qodli Sana'a, wafat pada tahun (197 H).
- Amr bin Abu Salamah (murid dari imam Al-Auza'i)
- Yahya bin Hassan (murid dari Imam Laits bin Sa'd)
Guru-guru beliau yang dari Iraq adalah sebagai berikut:
- Waki' bin Al-Jarokh bin Malikh Abu Sufyan pakar hadits kota Iraq dimasanya, wafat pada tahun (197 H).
- Khamad bin Usamah Al-Kufi Abu Usamah, wafat pada tahun (201 H).
- Isma'il bin Aliyyah Al-Bashri.
- Abdul Wahhab bin Abdul Majid Al-Bashri.
- Muhammad bin Al-Khasan Al-Syaibani (murid Imam Abu Hanifah).
Mereka semua adalah para guru-guru Imam Al-Syafi'I yang masyhur didalam ilmu Fiqh dan Fatwa, dari sini kita bisa ketahui bahwa Imam Syafi'I telah mengambil Fiqh dari banyak madzhab yang ada dimasa beliau, telah diketahui bahwa beliau mengambil fiqh Imam Malik, Fiqh Imam Al-Auza'i dari muridnya Amr bin Salamah, fiqh Imam Laits dari muridnya Yahya bin Hassan, dan juga mengambil Fiqh Imam Abu Hanifah dari muridnya Muhammad bin Al-Hassan. Maka dari ini semua terkumpulah pada diri imam Syafi'i Fiqh Makkah, Madinah, Iraq dan Mesir.
Dan Imam Syafi'I mempelajari fiqh dari beberapa madzhab ini dengan cara mengkritisi ,menyelidiki dan mencari pemahaman bukan dengan mencela dan menjadi pengikut. Maka setelah mempelajari ini semua imam Syafi'I mengambil apa yang harus di ambil menurut pemikiran beliau dan menolak apa yang harus ditolak menurut pemikiran beliau juga dengan dasar Al-Quran Al-Karim, Hadits, menjaga kemaslahatan dan mencegah kemafsadahan.
Murid-murid Imam Syafi'i:
Imam Syafi'I mempunyai beberapa murid yang telah mengambil fiqh dari beliau pada setiap periode dari tiga periode, yaitu di Makkah, Bagdad dan Mesir. Maka Imam Syafi'I mempunyai murid-murid yang telah bertemu beliau ketika di Makkah, juga murid yang telah bertemu beliau di Bagdad untuk kedua kalinya dan juga murid yang bertemu beliau pada akhir masa beliau di negara Mesir.
Murid-Murid Imam Syafi'I di Makkah Al-Mukarromah adalah sebagai berikut:
- Abu Bakar Abdullah bin Zubair Al-Asadi Al-Makky Al-Khamidy, beliau ini ikut pergi bersama imam Syafi'i dari Makkah Al-Mukarromah menuju ke Bagdad dan dari Bagdad menuju ke Mesir, dan beliau menetapi imam Syafi'i sampai imam Syafi'I wafat, kemudian beliau kembali ke Makkah Al-Mukarromah dan berfatwa untuk ahli Makkah sampai beliau wafat pada tahun ( 219 H) dan ada yang mengatakan pada tahun (220 H).
- Abu Al-Walid Musa bin Abu Al-Jarwud.
- Abu Ishaq Ibrohim bin Muhammad Al-Abbasi, wafat di Makkah Al-Mukarromah pada tahun (237 H).
Murid-Murid Imam Syafi'i di Bagdad Iraq adalah sebagai berikut:
- Abu Tsaur Al-Kalabi Ibrohim bin Kholid Al-Bagdadi wafat pada tahun (240 H) .
- Abu Ali Al-Khusain bin Ali Al-Karobisy, dipanggil dengan sebutan Al-Karobisy karena beliau adalah penjual Karobis (pakaian tebal), wafat pada tahun (245 H) dan ada yang mengatakan (256 H) .
- Abu Ali Al-Khusain bin Muhammad bin Al-Khusain Al-Za'farony dinisbatkan pada (Za'faronah) suatu desa dekat dengan kota Bagdad, wafat pada tahun (260 H) dan ada yang mengatakan (249 H) .
Murid-murid Imam Syafi'I di Mesir adalah sebagai berikut:
- Kharmalah bin Yahya bin Abdullah bin Kharmalah Al-Misry, wafat pada tahun (243 H) dan ada yang mengatakan (244 H) .
- Abu Ya'qub Yusuf bin Yahya Al-Qurosyy Al-Buwaithy, dinisbatkan pada (Buthi) sebuah desa didataran tinggi negara Mesir.Beliau ini adalah termasuk sebagian dari pembesar Ashhab Al-Syafi'i dan menjadi pengganti Imam Syafi'I setelah beliau wafat.
Imam Syafi’i berkata tentang Al-Buwaithy “ Tidak ada seorangpun yang lebih berhak dengan kedudukanku dibanding Abi Ya’qub, tidak ada seorang pun dari ashhabku yang lebih pandai daripada dia”. Beliau wafat dalam penjara pada tahun (232 H) dan ada yang mengatakan (231 H) .
- Abu Ibrohim Isma’il bin Yahya Al-Muzany Al-Mishry. Imam Syafi’i berkata tentang beliau “ Ketika dia melihat syetan dia akan mengalahkanya”, beliau wafat pada tahun (264 H) dan dimakamkan dekat dengan makam imam Syafi’i .
- Al-Robi’ bin Sulaiman bin Abdul Jabbar Al-Murody, seorang muadzin masjid Jami’ Mesir dan juga menjadi khodim Imam Syafi’i. Imam Syafi’i berkata “ Sesungguhnya dia itu paling kuat hafalanya diantara Ashabku, manusia dari beberapa penjuru bumi pergi menuju dia untuk mengambil ilmu Al-Syafi’i dan riwayat kitabnya”. Ketika diucapkan Al-Robi’ dalam kitab-kitab Al-Syafi’iyyah maka yang diharapkan adalah Al-Robi’ Al-Murody, wafat pada tahun (270 H) .
- Al-Robi’ bin Sulaiman bin Dawud Al-Jizy dinisbatkan dari (Jizah), beliau sedikit meriwayatkan dari imam Syafi’i, wafat pada tahun (256 H) .
Sebagian orang yang menimba ilmu dari imam Syafi’i dan tidak menjadi pengikut madzhab beliau adalah Imam Ahmad bin hanbal.
Kepercayaan pada Allah SWT, beragama dan Tawadlu’nya Imam Syafi’i
Para Ulama’ menyebutkan bahwasanya Imam Syafi’I ketika datang ke Mesir menghadaplah kepada beliau Al-Robi’ Al-Murody dan memberi nasihat supaya beliau dapat kedudukan dihadapan Hakim dan beliau akan kelihatan mulia dihadapan manusia, dan menyimpan makanan untuk setahun didalam rumahnya. Tapi Imam Syafi’I pun menolak sambil berkata “ Hai Robi’ seseorang yang dirinya tidak di agungkan pleh ketaqwaan maka tidak ada keagungan untuknya, Aku telah dilahirkan di Guzzah dan aku dirawat di Hijaz dan aku tidak mempunyai makanan pada waktu malam………………..
Perkataan ini menunjukan atas kepercayaan beliau yang mutlak pada Allah SWT, dan diriwayatkan bahwasanya beliau berkata “ Ketika aku tidak melihat seseorang, maka aku suka ketika dia salah, tidak ada dalam hatiku dari ilmu kecuali aku bimbang bahwa ketika dia dihadapan setiap orang dan tidak menisbatkan kepada diriku.”
Fiqh Imam Syafi’i
Imam Syafi’I tidak mengarah pada pembuatan madzhab yang independen atau ikut beberapa pendapat fiqh yang independen dari beberapa pendapat Imam malik, sampai akhirnya ketika beliau pergi menuju Bagdad untuk yang pertama kalinya beliau menerima itu semua, dan dimasa itu beliau di anggap dari Ashab Imam Malik yang selalu menjaga beberapa pendapat beliau dan melawan mereka para Ahli Al-Ro’yu untuk menjaga Fiqh Madinah, hingga beliau di sebut dengan sebutan Nashiru Al-Hadits (Penyelamat Hadits).
Dan setelah cukup lama beliau menetap di Bagdad, kemudian beliau memutuskan untuk mempelajari kitab-kitabnya Muhammad bin Al-Hassan murid dari imam Abu Hanifah, kemudian beliau mendebat dan mengkritik para Ahlu Al-Ro’yi, setelah ini semua maka beliau merasa bahwasanya beliau harus keluar untuk para manusia dengan kompisisi atau campuran dari fiqh Ahli Iraq dan fiqh ahli madinah. dan beliau pun mengarah pada mempelajari pendapat-pendapat Imam Malik dengan pelajaran pengkritikan dan penyelidikan bukan pelajaran kefanatikan dan penyelamatan, dan mungkin perdebatan dari pendapat Imam Malik dan ketika mengalahkan kefanatikan maka akan menunjukan beberapa kekurangan. Seperti terjadinya beberapa keunggulan dan kekurangan fiqh ahli Iraq menurut pandangan beliau dalam pengkritikan dan pembelajaran beliau maka saat ini diharuskan ada pemikiran dan pengarahan penbaharuan. Maka sesungguhnya munaqosyah dalam furu’ dah pengarahanya pada mengetahui Ushulnya dan membahas batas-batas dan ukuran maka Syafi’i pun keluar dari Bagdad dan mencetuskan garis-garis pembaharuan.
Pembagaian masa imam Syafi’I dalam pembuatan pendapat-pendapat beliau dalam tiga masa:
- Di Makkah Al-Mukarromah.
- Di Madinah Al-Munawwaroh.
- Di Mesir.
Dan pada setiap masa ini munculah murid-murid Imam Syafi’I yang belajar dari beliau dan mensyiarkan madzhab beliau di masanya.
Imam Syaf’I menetap di kota Makkah Al-Mukarromah setelah beliau dari Bagdad yang pertama dalam jangka sekitar sembilan tahun. Dan disini beliau merasa paling semangat di masa-masa penuntutan ilmu, dikarnakan di masa ini beliau banyak memperhatikan beberapa pendapat para ulama’-ulama’ besar dimasa itu.
Beberapa Istilah Fiqh khusus dalam Madzhab Syafi’iyah
Imam Syafi’I menggunakan lafadz (Fardlu) untuk makna sesuatu yang wajib atau yang diharuskan untuk melaksanakanya. Seperti juga beliau menggunakan kata (Muharrom atau Harom) untuk sesuatu yang harus ditinggalkan dan pada sesuatu yang menjadi kebalikan Fadlu.
Beliau menggunakan kata (Karohah) untuk arti sesuatu yang dianggap bagus untuk dilaksanakan semisal : diriwayatkan bahwasanya sesungguhnya nabi Muhammad SAW berkata “ Bumi itu masjid kecuali kuburan dan toilet ” disini Imam Syafi’i memberi illat bahwasanya sesungguhnya kuburan dan toilet itu tidak suci, kemudian berkata kuburan adalah tempat yang dibuat mengubur masyarakat umum, ini seperti pasir yang bercampur dengan para mayat. Adapun (shohro’) sahara atau padang pasir yang tidak pernah dibuat mengubur sama sekali kemudian dibuat mengubur suatu kaum yang telah mati kemudian tidak menggerakkan kuburan tadi maka ketika ada seseorang sholat pada kuburan tadi atau pada atasnya maka Imam Syafi’I menghukumi makruh dan tidak menyuruh untuk mengulang sholatnya dikarnakan diketahui bahwa pasir itu suci dan tidak bercampur dengan sesuatu apapun” .
Seperti beliau juga menggunakan kata (Uhibbu) untuk arti sesuatu yang bagus untuk dilaksanakan, akan tetapi tidak sampai tahap wajib, semisal perkataan Imam Syafi’i tentang pelepasan anjing atau burung yang sudah jinak, Imam Syafi’i berkata “ketika seorang lelaki muslim melepas anjing atau burungnya yang sudah jinak aku menyukai untuk dia membaca basmalah, maka ketika dia lupa tidak membaca basmalah kemudian anjing atau burung tadi membunuh buruannya maka untuk dia boleh memakanya dikarenakan orang muslim yang menyembelih itu atas nama Allah SWT meskipun dia lupa” .
Dan Imam Syafi’i berkata “Dan aku menyukai pada sembelihan supaya menghadap kearah qiblat ketika hal itu memungkinkan, dan ketika penyembelih tidak melaksanakannya, maka dia telah meninggalkan sesuatu yang aku menyukainya dan itu tidak mengharamkan pada yang disembelih”. Al-Robi’ meriwayatkan “ Aku bertanya kepada Al-Syafi’i; Apakah anda membaca Ummul Qu’an dibelakang imam pada rokaat akhir secara pelan? Maka Imam Syafi’I menjawab: Aku suka itu dan tidak mewajibkan atas hal itu” .
Dan kata (Akrohu) menurut Imam Syafi’I yang telah diterangkan di atas kadang juga menggunakan istilah (Lam Uhibbu) .
Imam Syafi’I menggunakan istilah (La Ba’sa) untuk sesuatu yang diperbolehkan tanpa kemakruhan dan kesunatan. Semisal imam syafi’i berkata tentang zakat fitri “ Tidak apa ketika melaksanakan zakat fitrah dan mengambilnya ketika dibutuhkan dan selainnya dari shodaqoh yang diwajibkan dan yang lainya” . Dan beliau berkata “ seseorang yang menjual barang dari beberapa barangnya sampai pada masa dari beberapa masanya, dan pembeli telah menerimanya maka tidak apa ketika dia menjualnya pada orang yang membelinya dengan harga yang lebih rendah atau lebih tinggi, baik dengan hutang atau kontan dikarenakan barang yang di jual itu bukanlah barang yang telah di jual pertama kali” .
Seperti juga beliau menggunakan kata (Ja’iz) untuk arti boleh tanpa ada kemakruhan atau kesunatan .
Seperti beliau juga menggunakan istilah (La Khoiro fihi) untuk sesuatu yang diharamkan dalam artian tidak di perbolehkan .
Dasar-dasar dalil fiqh pada madzhab Syafi’iyyah
Sebenarnya dasar-dasar dalil syar’i yang di buat sandaran Imam Syafi’I itu terbatas pada empat:
- Al-Qur’an Al-Karim
- Al-Sunnah Al-Nabawiyyah
- Ijma’ Ulama’
- Qiyas
Dan telah tersebar madzhab Syafi’iyyah pada Negara Hijaz, Iraq, Mesir, Syam dan yang lainya. Dan Imam Syafi’I sendiri yang menyebarkannya pada Negara Hijaz, Iraq, Mesir dengan mengajarkannya dan menyebarkan kitab-kitab karangan beliau dan setelah itu para murid beliau lah yang bertanggung jawab setelah beliau wafat dengan mengajarkan kepada para pengikutnya.
Istilah-istilah nama atau sebutan dalam madzhab Syafi’iyyah
- (Al-Imam) yang diharapkan adalah Imam Al-Haromain Al-Juwainy. Beliau adalah Abdul Malik bin Abdillah bin Yusuf pengarang kitab Al-Nihayah, Al-Burhan dan yang lainnya, wafat pada tahun (478 H) .
- (Al-Qodli) yang di harapkan adalah Al-Qodli Husain Abu Ali Muhammad bin Ahmad Al-Marwazy, sebagian dari karangannya adalah kitab Syarkhu Talkhisi ibni Al-Qodli dan kitab Syarkhun ‘Ala Furu’i ibni Al-Khaddad, wafat pada tahun (462 H) .
- (Al-Qodliyani) yang di harapkan adalah:
1- Ali bin Muhammad bin Habib Al-Mawardy pengarang kitab Al-Khawy dan kitab Al-Ahkam Al-Shulthoniyyah dan yang lainya, wafat pada tahun (450 H) .
2 – Abdul Wahid bin Isma’il bin Ahmad Al-Ruyany, wafat pada tahun (501 H) .
- (Al-Syaikhoni) yang di harapkan adalah:
1- Abdul Karim Muhammad bin Abdul Karim Al-Rofi’i Abu Al-Qosim Al-Quzwainy pengarang kitab Al-Aziz Syarkhu Al-Wajiz, wafat pada tahun (634 H) .
2- Yahya bin Syarof Abu Zakariyya Al-Nawawi, beliau memiliki banyak karangan yang di antaranya adalah kitab Al-Roudloh, Syarhu Muslim dan Al-Tahqiq, wafat pada tahun (677 H) umur beliau sekitar empat puluh lima tahun .
- (Al-Syuyuh) yang diharapkan adalah Imam Nawawi, Imam Rofi’I dan Imam Al-Shubki yaitu Taqiyyuddin Ali bin Abdul Kafi Al-Shubki Syaihul Islam di masanya, wafat pada tahun (756 H) .
- (Al-Syarih) ketika di ucapkan menggunakan Al (Al-Syarih) atau (Al-Syarih Al-Muhaqqiq) maka yang di harapkan adalah Jalaluddin Al-Makhally Muhammad bin Ahmad bin Ibrohim yang mensyarahi kitab Al-Minhaj karangan imam Nawawi, dan beliau juga mempunyai beberapa karangan yang sangat bermanfaat, wafat pada tahun (874 H).
Akan tetapi dalam kitab (Syarkhu Al-Irsyad) kitab karangan Al-Maziyyi, ketika di ucapkan (Al-Syarih) maka yang di harapkan adalah Al-Jaujary beliau adalah Muhammad bin Abdul Mun’im Al-Qohiry Syamsuddin, sebagian dari peninggalan beliau adalah Syarhu Al-Irsyad, Tashilu Al-Masalik Ila Umdati Al-Salik Li Ibni Al-Naqib, wafat pada tahun (889 H).
- (Syarih) ketika diucapkan istilah Syarih tanpa menggunakn Al maka yang diharapkan adalah salah satu dari pensyarah untuk kitab manapun yang ada, ini tidak ada bedanya baik yang ada pada kitab (Tuhfatu Al-Muhtaj) atau yang lainnya, berbeda pendapat dengan orang yang megatakan bahwasanya yang di harapkan adalah -Syuhbah-.
- (Syaihuna, Al-Syaih atau Syaihu Al-Islam) yang diharapkan adalah Zakariyya bin Muhammad bin Ahmad Al-Anshory beliau mempunyai beberapa karangan yang menunjukkan keutamaannya, wafat pada tahun (926 H) .
- (Syaihi) ketika yang mengucapkan istilah ini adalah Al-Khotib Al-Syirbini maka yang di harapkan adalah Al-Syihab Ahmad bin Ahmad Al-Romly, wafat pada tahun (971 H). Ini adalah yang di harapkan Al-jamal Al-Romli dengan ucapan “ Orang tuaku telah berifta’ dengan ini dan sebagainya” .
- ketika Imam Al-Syairozi dalam kitab (Al-Muhaddzab) menggunakan istilah (Abu Al-Abbas) maka yang di harapkan adalah Ahmad bin Suraij Al-Bagdady Syaihu Al-Syafi’iyyah di masanya, wafat di Bagdad pada tahun (306 H) umur beliau limapuluh tahun lebih enam bulan . Dan ketika Al-Syairozi mengharapkan Abu Al-Abbas bin Al-Qodli maka beliau akan memberi catatan tersendiri.
Ketika menggunakan istilah (Ibnu Al-Qosh) maka yang di harapkan adalah Ahmad Al-Thobary beliau belajar fiqh dari Ibnu Suraij, wafat pada tahun (335 H). Al-Qosh adalah seseorang yang menganjurkan untuk menyebutkan beberapa kisah.
Ketika Imam Al-Syairozi menggunakan istilah (Abu Ishaq) dalam kitab Al-Muhaddzab maka yang di harapkan adalah Al-Marwazy Ibrohim bin Ahmad murid dari Ibnu Suraij, wafat pada tahun (340 H) , imam Nawawi berkata “ Imam Syairozi tidak menyebutkan Abu Ishaq Al-Isfiroyiny dalam kitab Al-Muhaddzab “.
Ketika Imam Syairozi menggunakan istilah (Abu Sa’id) dalam kitab Al-Muhaddzab maka yang di harapkan adalah Al-Isthohry Abu Sa’id Al-Hasan bin Ahmad, wafat pada tahun (328 H), beliau dan Ibnu Suraij adalah Syaihu Al-Syafi’iyyah di negara Bagdad .
Imam Nawawi berkata “ imam Al-Syairozi tidak menyebutkan Abu Sa’id dari ahli fiqh selain beliau”.
- (Abu Hamid) istilah ini di gunakan dalam kitab Al-Muhaddzab untuk dua orang :
1- Al-Qodli Abu Hamid Al-Marwazy Ahmad bin Basyar bin Amir, wafat pada tahun (362 H).
2- Syeih Abu Hamid Al-Isfiroyiny Ahmad bin Muhammad, wafat pada tahun (406 H).
Imam Nawawi berkata setelah menyebut beliau berdua “…akan tetapi beliau berdua di sebut dengan catatan Al-Qodli dan Al-Syaih maka tidak akan ada keserupaan, pada kitab Muhaddzab tidak ada Abu Hamid selain beliau berdua tidak dari Ashab kita dan tidak dari yang lainnya”.
- (Abu Al-Qosim) di gunakan dalam kitab Al-Muhaddzab dan yang di harapkan adalah empat Imam yaitu: Al-Anmathy, Al-Daroky, Ibnu Kajjin dan Al-shoimary. Tidak di temukan dalam kitab Al-Muhaddzab istilah Abu Al-Qoshim selain beliau empat ini.
- (Abu Al-Thoyyib) dalam kitab Al-Muhaddzab yang di harapkan adalah dua imam dari ahli fiqh Syafi’iyyah yaitu: Ibnu Salamah dan Al-Qodli Abu Al-Thoyyib guru dari imam Syairozi. Dan beliau berdua ini di sebut dengan di sifati .
- Ketika dalam kitab Al-Muhaddzab menyebutkan istilah (Al-Robi’ min Ashabina) maka yang di harapkan adalah Al-Robi’ bin Sulaiman Al-Murody murid dari Imam Syafi’I, di dalam kitab Al-Muhaddzab tidak ada Al-Robi’ selain beliau, tidak dari kalangan fuqoha’ atau yang lain kecuali pada masalah penyamakan kulit apakah bulunya suci? Ini yang di harapkan adalah Al-Robi’ bin Sulaiman Al-Jiyi.
- Imam Nawawi berkata “ ketika aku mengucapkan kata (Ana) pada Al-Syarhu, Dzikri dan Al-Qoffal maka yang aku maksud adalah Al-Marwazy, dikarnakan beliau yang paling masyhur pada pemindahan (naqlu) madzhab………….Adapun Al-Syasyi penyebutan beliau sedikit kalau di banding Al-Marwazy di dalam madzhab. Maka ketika yang aku harapkan adalah Al-syasi maka aku akan memberi catatan.
- (Al-Muhammadun Al-Arbaah) beliau adalah:
1- Muhammad bin Nashr Abu Abdillah Al-Marwazy, wafat pada tahun (294 H).
2- Muhammad bin Ibrohim bin Al-Mundzir, wafat pada tahun (309 H) atau (310 H).
3- Muhammad bin Jarir Al-Thobary, wafat pada tahun (310 H).
4- Muhammad bin Ishaq bin Khozimah, wafat pada tahun (311 H).
Beliau empat ini telah sampai pada tingkatan mujtahid mutlaq, beliau meskipun keluar dari pendapat Imam Syafi’i dalam beberapa masalah tapi secara keseluruhan beliau-beliau ini tidak keluar dari pendapat Imam Syafi’i secara keseluruhan, maka beliau-beliau ini tetap di anggap sebagai Syafi’iyyah dan dari ushul mereka dikeluarkan.
- (Al-Ashab) yang di harapkan adalah beliau-beliau para pendahulu Syafi’iyyah, beliau adalah para Ashabul Aujuh secara keseluruhan, kalau di batasi dengan hitungan masa, beliau ini adalah para Syafi’iyyah yang muncul dari empat ratusan, dan untuk beliau di gunakan istilah Al-Mutaqoddimun karma dekatnya beliau dengan qurun waktu yang di saksikan dengan keberhasilan.
(Tanbih)
Perkataan Imam Al-Rozi dengan kata (Al-Ashab) ini membingungkan, karma kami tidak mengetahui apa yang di harapkan dari Imam Al-Rozi, apakah beliau mengharapkan Al-Syafi’iyyah atau Asya’iroh? Ini di karenakan Imam Al-Rozi sendiri adalah pengikut Syafi’iyyah juga pengikut Asya’iroh. Maka semua ini tidak akan menjadi jelas kecuali ketika Imam Al-Rozi menjelaskan apa yang di harapkan di dalam kitab beliau, atau beliau berpendapat pada masalah fiqh murni maka bisa di ketahui bahwa yang beliau harapkan adalah Al-Syafi’iiyah atau pada masalah aqidah murni maka yang di maksud adalah Asya’iroh. Adapun ketika masalahnya adalah masalah fiqh yang ada sangkut paut dengan ilmu kalam akan susah untuk menentukannya.
- (Al-Mutaahhirun) yang di harapkan adalah mereka para ulama’ Syafi’iyyah setelah qurun keempat, atau bisa di katakan mereka adalah para ulama’ Syafi’iyyah yang datang setelah Imam Nawawi dan Imam Rofi’i.
Kitab-kitab yang di bukukan dalam madzhab Syafi’iyyah
Para ulama’ telah sepakat bahwa kitab-kitab yang dikarang oleh imam Syafi’i dalam ilmu Fiqh itu ada empat kitab : Al-Umm, Al-Imla’, Muhtashoru Al-Buwaity dan Muhtashoru Al-Muzanny. Dan yang di harapkan disini adalah bahwasanya kitab-kitab yang di tulis oleh imam Al-Buwaity dan imam Al-Muzanni dinisbatkan kepada imam Syafi’i tetapi cuma dalam maknanya saja.
Kemudian kitab empat ini di ringkas oleh imam Al-Haromain Al-Juwainy pada karangan beliau yang diberi nama Al-Nihayah , keterangan yang kita sampaikan ini cocok dengan apa yang telah di jelaskan oleh ulama’ mutaahhirun. Akan tetapi kalau kita mengambil pendapatnya Al-Babily dan Ibnu Hajar beliau mengatakan bahwasanya kitab Al-Nihayah adalah Syarah dari kitab Muhtashoru Al-Muzanny dan kitab ini adalah kitab ringaksan dari kitab Al-Umm.
Kemudian setelah itu datanglah imam Al-Ghozaly dengan kitab beliau Al-Bashit, dimana kitab ini adalah ringkasan dari kitab Al-Nihayah, setelah itu beliau meringkas kitab Al-Bashit menjadi kitab Al-Wasith kemudian Al-Wasith di ringkas lagi oleh beliau menjadi kitab Al-Wajiz , dan sampai akhirnya kitab Al-Wajiz di ringkas oleh beliau menjadi Al-Khulashoh.
Setelah itu datanglah imam Al-Rofi’i yang meringkas kitab karangan imam Ghozali yang Al-Wajiz dalam kitab beliau yang diberi nama Al-Mukharror, akan tetapi ada keterangan sedikit di kitab Al-Tuhfah yang menjelaskan bahwasanya kitab Al-Muharror disebut Muhtashor (ringkasan) itu disebabkan sedikit lafadlnya (ringkas), bukan karna ini ringkasan dari Al-Wajiz.
Setelah itu imam Nawawy meringkas kitab Al-Muharror pada kitab beliau yang diberi nama Al-Minhaj, kemudian kitab Al-Minhaj ini di ringkas oleh imam Zakariyya Al-Anshory menjadi kitab Al-Manhaj. Kitab Al-Manhaj pun diringkas oleh imam Al-Jauhri menjadi kitab Al-Nahj.
Selain imam Rofi’i membuat ringkasan dari kitab Al-Wajiz beliau juga mengarang syarah dari kitab Al-Wajiz menjadi dua kitab, yang satu kitabnya agak kecil dan beliau tidak memberi nama pada kitab ini dan yang satunya agak besar yang beliau beri nama Al-Aziz.
Dari kitab Al-aziz ini imam Nawawi meringkasnya menjadi kitab Al-Roudloh, kemudian kitab Al-Roudloh diringkas oleh imam Ibnu Muqri menjadi kitab Al-Roudl, kemudian kitab Al-Roudl ini di syarahi oleh imam Zakariyya Al-Anshori dalam kitab beliau yang diberi nama Al-Asna.
Selain kitab Al-Roudl di syarahi oleh imam Zakariyya Al-Anshori kitab ini juga di ringkas oleh imam Ibnu Hajar yang diberi nama Al-Na’im. kitab ini sangat bagus sekali akan tetapi keberadaan kitab ini sudah tidak muncul di masa imam Ibnu Hajar masih hidup.
Kitab Al-Roudloh karangan imam Nawawi juga di ringkas oleh imam Ahmad bin Umar Al-Muzajjad Al-Zabidy yang diberi nama Al-Ubab, kemudian kitab ini di syarahi oleh imam Ibnu Hajar dalam kitabnya Al-I’ab, akan tetapi kitab Al-I’ab ini belum sampai selesai.
Kitab Al-Roudloh selain diringkas menjadi Al-Ubab juga di ringkas oleh imam Al-Suyuti menjadi kitab Al-Ghoniyyah, beliau juga membuat nadlomanya yang beliau beri nama Al-Khulashoh akan tetapi kitab nadloman ini belum sampai selesai.
Imam Al-Quzwainy juga mengarang ringkasan dari kitab Al-Aziz yang beliau beri nama Al-Khawi Al-Shoghir, kemudian kitab ini dinadlomkan oleh imam Al-Wardy dalam kitab Buhjahnya. Kemudian kitab nadloman Al-Buhjah disyarahi oleh imam Zakariyya Al-Anshori dengan dua kitab syarah.
Setelah itu Ibnu Al-Muqri membuat kitab ringkasan dari Al-Khawi Al-Shoghir menjadi kitab Al-Irsyad, dan kitab ini kemudian disyarahi oleh imam Ibnu Hajar dengan dua kitab syarah.
Imam Ibnu Hajar berkata “Setelah imam Nawawi membuat karangan Al-Roudloh “Datanglah beberapa ulama’ mutaahhirun (Ulama setelah kurun imam Nawawi) dan mereka berbeda-beda tujuan atas kitab-kitab yang telah ada, sebagian ada yang membuat karangan khasiyah (catatan pinggir) dan banyak ulama yang mempunyai gaya seperti ini, dan karangannya pun menjadi karangan yang besar-besar seperti contoh khasyiyahnya imam Al-Adzro’i yang beliau kasih nama Al-Mutawassit Baina Al-Roudloh wa Al-Syarhi, kitab ini berjumlah lebih dari tiga puluh kitab. Begitu juga imam Al-Asnawy, imam Ibnu Al-‘Ammad dan imam Al-Bulqiny beliau-beliau ini adalah para jagoan dari ulama’ mutaahhirin dengan tempatnya yang berkilau.
Setelah kurun ini datanglah imam Al-Zarkasyi, beliau adalah murid dari imam empat diatas (imam Al-Adzro’i, imam Al-Asnawy, imam Ibnu Al-‘Ammad dan imam Al-Bulqiny), beliau membuat karangan yang menjadi kumpulan dari ringkasan khawasi guru-guru beliau yang diberi nama Khodimu Al-Roudloh.
Setelah kita mengetahui bahwasanya kitab-kitab dalam madzhab Syafi’iyyah selalu berkaitan satu dengan yang lain, ini seperti apa yang dikatakan oleh Dr.Muhammad Ibrohim Ali menjadikan ketenangan pada hati kita dan suatu kekaguman pada pembenaran kitab-kitab ini beserta pengarangnya pada madzhab Syafi’iyyah .
cukup sampai segini dulu semoga bermanfa'at bagi penulis dan tentunya bagi orang lain amin.
Daftar pustaka :
1.Al fathu al mubin fi ta'tifi mustalakhat al fuqoha wa al usuliyin oleh : prof.dr.muahammad ibrohim al khafnawy